KABUL (Arrahmah.id) – Juru bicara Imarah Islam Afghanistan, Zabiullah Mujahid, bereaksi terhadap keputusan Uni Eropa untuk memberikan sanksi kepada beberapa pemimpin Imarah Islam, dengan mengatakan bahwa langkah tersebut “tidak menguntungkan pihak manapun.”
Pada Kamis (20/7/2023), Dewan Eropa mengatakan bahwa mereka memberlakukan langkah-langkah pembatasan terhadap 18 individu dan 5 entitas di bawah Rezim Sanksi Hak Asasi Manusia Global Uni Eropa, karena tanggung jawab mereka atas pelanggaran hak asasi manusia yang serius dan pelanggaran di Afghanistan, Sudan Selatan, Republik Afrika Tengah, Ukraina, dan Rusia.
“Enam orang masuk dalam daftar atas berbagai bentuk kekerasan seksual dan kekerasan berbasis gender,” kata Dewan Uni Eropa dalam sebuah pernyataan.
“Penjabat Menteri Pendidikan dan Kehakiman Taliban dan penjabat Ketua Mahkamah Agung Afghanistan karena peran mereka dalam merampas hak-hak anak perempuan dan perempuan Afghanistan untuk mendapatkan pendidikan, akses terhadap keadilan, dan perlakuan yang setara antara laki-laki dan perempuan” termasuk di antara enam orang tersebut,” lanjut pernyataan, seperti dilansir Tolo News (21/7).
“Sanksi-sanksi ini tidak hanya berdampak negatif terhadap para pejabat Afghanistan, namun Taliban juga harus mengambil tindakan serius untuk mengubah kehidupan rakyat Afghanistan,” kata Wais Naseri, analis politik.
Mujahid meminta Uni Eropa untuk menggunakan dialog daripada tekanan dan sanksi.
“Alih-alih menggunakan tekanan dan sanksi, interaksi, dialog dan pemahaman harus digunakan. Mengulangi pengalaman yang gagal terhadap warga Afghanistan dan memaksakan politik tidak memberikan hasil,” katanya di Twitter.
Maret lalu, Uni Eropa mengumumkan sanksi terhadap sembilan individu dan tiga entitas di bawah Rezim Sanksi Hak Asasi Manusia Global, termasuk dua menteri Imarah Islam Afghanistan -Menteri Pendidikan Tinggi Neda Mohammad Nadim dan Menteri Penyebaran Kebajikan dan Pencegahan, Wakil Mohammad Khalid Hanafi- karena berada di balik keputusan yang melarang perempuan dari pendidikan tinggi dan praktik-praktik yang dipisahkan berdasarkan jenis kelamin di ruang publik.
(haninmazaya/arrahmah.id)