KABUL (Arrahmah.id) – Imarah Islam Afghanistan menolak laporan ahli PBB mengenai pelanggaran hak-hak perempuan di negara ini, dengan mengatakan bahwa hak-hak perempuan dilindungi lebih dari sebelumnya.
Juru bicara Imarah Islam, Zabihullah Mujahid, mengatakan bahwa masalah hak-hak perempuan adalah masalah internal Afghanistan dan negara lain tidak boleh ikut campur di dalamnya.
“Kita tidak boleh mempercayai slogan-slogan palsu mereka. Imarah Islam Afghanistan mengakui dan berkomitmen terhadap hak-hak semua orang. Pemerintah berkewajiban untuk menghormati hak-hak yang telah diberikan Islam kepada rakyat,” kata Mujahid, seperti dilansir Tolo News (21/2/2024).
Sebelumnya, para ahli PBB, yang menarik perhatian pada situasi perempuan dan anak perempuan di Afghanistan, mengatakan dalam sebuah siaran pers bahwa “apartheid gender” harus diakui sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan karena masalah yang berkembang di seluruh dunia.
Para ahli menekankan bahwa penetapan apartheid gender sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan akan menjadi pengakuan yang sudah lama tertunda oleh masyarakat internasional.
“Kekuasaan Taliban membuat kodifikasi apartheid gender dalam hukum internasional menjadi sangat mendesak, karena hal ini akan memungkinkan masyarakat internasional untuk mengidentifikasi dan menangani serangan rezim terhadap perempuan dan anak perempuan Afghanistan dengan lebih baik,” klaim para ahli.
“Jika kita ingin Allah, dunia, dan rakyat Afghanistan puas dengan kita sebagai pemerintah, kita harus memberikan semua hak-hak dasar warga negara,” kata Zakiullah Mohammadi, seorang dosen di sebuah universitas.
Sementara itu, beberapa aktivis hak-hak perempuan meminta Imarah Islam Afghanistan untuk menjamin masa depan mereka dengan memberikan hak-hak dasar mereka, termasuk hak untuk bekerja dan mendapatkan pendidikan.
“Kami meminta pemerintah untuk membuka sekolah dan universitas dan mengizinkan perempuan untuk bekerja. Jangan biarkan negara-negara lain yang menanggung penderitaan kami,” ujar Fazela Sorush, seorang aktivis hak-hak perempuan.
Hal ini muncul ketika penjabat Menteri Pendidikan Tinggi, Neda Mohammad Nadim, pada Selasa dalam sebuah seminar di Kabul mengkritik penyelenggaraan pertemuan-pertemuan mengenai Afghanistan di luar negeri, dengan mengatakan bahwa apa yang diangkat mengenai hak-hak perempuan dalam pertemuan-pertemuan tersebut tidak benar.
Berbicara dalam seminar tersebut, Nadim mengatakan bahwa saat ini hak-hak perempuan dilindungi di negara ini. (haninmazaya/arrahmah.id)