JAKARTA (Arrahmah.com) – Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) akhirnya mengharamkan vaksin meningitis yang wajib digunakan bagi calon jamaah haji dan umrah.
Ketua MUI Amidhan mengatakan, keputusan itu merupakan hasil pertimbangan dan analisis dari anggota Komisi Fatwa MUI. Dari analisis itu dinyatakan bahwa proses pembuatan vaksin meningitis bermerek “Mencevax ACWY” tersebut menggunakan enzim babi.
“Keterangan yang paling kuat itu disampaikan Departemen Kesehatan (Depkes) yang mempertegas bahwa vaksin tersebut mengandung enzim babi,” tegas Amidhan seperti yang dilansir Seputar Indonesia, Senin (8/6).
Dengan adanya ketetapan ini, terang Amidhan, MUI membatalkan rencana pergi ke Belgia guna menyaksikan langsung proses pembuatan vaksin meningitis tersebut. “Tidak ada lagi yang mau dibuktikan. Jadi, kami urungkan niat ke Belgia,” katanya.
Sebelumnya diberitakan, penelitian Lembaga Pengkajian Pangan dan Obat-obatan dan Kosmetika (LPPOM) MUI Sumatera Selatan (Sumsel) menemukan kandungan vaksin meningitis yang mengandung enzim babi.
Padahal, vaksin meningitis harus diberikan kepada setiap calon jamaah haji atau umrah melalui Nota Diplomatik Duta Besar (Dubes) Arab Saudi di Jakarta No.211/94/71/577 tanggal 1 Juni 2006.
Surat itu menyatakan, Pemerintah Arab Saudi mewajibkan setiap calon jamaah umrah, haji, dan tenaga kerja Indonesia (TKI) mendapat imunisasi meningitis sebagai syarat untuk mendapatkan visa. Atas dasar surat itu, Pemerintah Indonesia kemudian mewajibkan semua calon jamaah haji dan umrah untuk disuntik vaksin meningitis.
Untuk kepentingan ini, pemerintah kemudian menggunakan vaksin bermerek Mencevax ACWY yang diproduksi oleh PT GlaxoSmithKline Beecham Pharmaceuticals (GSK) dari Belgia.Perusahaan tersebut sebenarnya telah mengirim surat ke Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (Dirjen P2PL) Depkes.
Dalam suratnya, perusahaan itu menyatakan bahwa produknya sudah tidak mengandung enzim babi. Enzim babi, sebut perusahaan itu dalam suratnya, hanya digunakan dalam proses awal pembuatan vaksin meningitis.
Setelah itu dihilangkan, sehingga produk akhir vaksin tidak lagi mengandung unsur babi. Bahkan, Mencevax ACWY formula baru ini telah mendapatkan persetujuan dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) pada 6 April 2009. Atas keterangan ini,Amidhan menyatakan, MUI masih ragu atas klaim tersebut.
“Tidak mungkin tidak mengandung babi kalau mediasinya menggunakan enzim babi,” tegasnya.
Lebih lanjut Amidhan mengatakan, MUI akan menemui Dubes Arab Saudi di Indonesia untuk mempertanyakan alasan diwajibkannya pemberian vaksin meningitis bagi jamaah haji.
Jika pemberian vaksin itu merupakan kewajiban yang tidak bisa dihindari, kata dia, Komisi Fatwa akan bersidang kembali untuk menetapkan fatwa selanjutnya. Amidhan juga mendesak pemerintah segera mengusahakan alternatif vaksin meningitis jenis lain sebagai penggantinya.
Menanggapi hal ini, Sekretaris Jenderal (Sekjen) Penyelenggaraan Haji dan Umrah Departemen Agama (Depag) Abdul Ghafur Djawahir mengatakan, pihaknya hanya menunggu keputusan akhir MUI dan Depkes terkait penggunaan vaksin meningitis tersebut. Sebab, menurut dia, pemberian vaksin merupakan wewenang Depkes.
“Depag hanya menunggu kesepakatan MUI dan Depkes. Karena persoalan perusahaan pembuat vaksin, yaitu PT GSK merupakan kewenangan Depkes.Setelah mendapatkan hasil, baru dikoordinasikan dengan kita,” terangnya.
Sementara itu, Koordinator Forum Reformasi Haji Indonesia (FOR Haji) Ade Marfuddin, mengatakan fatwa haram mengenai vaksin meningitis belum cukup. Dia meminta MUI untuk membuat fatwa yang benar sesuai dengan fakta.
Ade menambahkan jika fatwa tersebut harus mengarah ke darurat, maka MUI harus menjelaskan alasannya. “Jika seperti itu harus ada batas waktunya disertai dengan catatan perbaikan dan mencari alternatif vaksin berbahan lain,” terangnya. (Koran SI/arrahmah.com)