SOLO (Arrahmah.com) – Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kota Surakarta menolak kebijakan MUI Pusat tentang pemberian sertifikat atau label halal pada rumah makan dan warung makan. MUI Surakarta melihat indikasi ketidakjujuran yang dilakukan oleh pemilik usaha untuk memanfaatkan itikad baik MUI dengan labelisasi itu.
Hal tersebut disampaikan oleh Ketua MUI Kota Surakarta, Zainal Arifin Adnan dalam deklarasi gerakan masyarakat cinta masakan halal tradisional di rumah makan Dapoer Bistik, Solo, Senin (18/6/2012). Zainal mengatakan sejauh ini MUI Surakarta merupakan satu-satunya MUI di daerah yang secara tegas menolak pemberian labelisasi tersebut.
Zainal memaparkan pihaknya telah menegaskan kepada MUI Pusat mengenai penolakan itu. Kepada MUI Pusat, MUI Surakarta dengan tegas mengatakan itikad baik MUI memberikan labelisasi halal dengan tujuan untuk melindungi konsumen, di lapangan telah dimanfaatkan pencari label. Dengan demikian pada dasarnya, MUI telah ikut melakukan pembohongan kepada konsumen.
“Pemilik usaha menyadari kekuatan ekonomi umat muslim sangat luar biasa. Pemilik usaha membidik potensi besar itu sebagai konsumen usahanya. Dalam kenyataan di lapangan, pencari label itu justru pengelola rumah makan yang patut dipertanyakan kejujurannya. Tidak ditemukan pemilik rumah makan atau warung-warung makan muslim yang mencari label itu,” ujar Zainal seperti dilansir detik.com.
Ketika dilakukan pembuktian kehalalan, kata Zainal, ternyata pencari label terkesan tidak transparan. Dicontohkan, pihaknya pernah melakukan upaya pembuktian cara rumah makan memotong hewan. Pemilik rumah makan menyebut jam tertentu untuk penyembelihan hewan. Ternyata ketika petugas MUI datang pada jam yang disebutkan, hewan-hewan itu sudah disembelih. Demikian selalu berulang-ulang.
“Itu baru pada tahap pembelihan hewan, belum pada tahap-tahap lainnya. Misalnya tentang tata cara memasak, bumbu yang dicampurkan, minyak yang dipakai, serta pemisahan bagian najis hewan dengan daging yang akan dikonsumsi. Jika kami selalu kesulitan membuktikannya, lalu bagaimana kami bisa memberikan label halal kepada rumah makan tersebut,” lanjut Zainal.
Zainal mengatakan labelisasi paling efektif bagi tempat usaha makanan dan minuman adalah jika pemilik usaha bersedia merekrut paling sedikit 90 karyawannya dari kalangan muslim yang memahami tata cara penyajian makanan dan minuman secara halal. Tanpa itu maka labelisasi apa pun yang dilakukan oleh MUI dengan tujuan melindungi konsumen akan sia-sia dan justru ikut membohongi konsumen.
“Para ilmuwan menegaskan dengan peralatan secanggih apapun sulit dibedakan lemak babi dengan lemak sapi. Dengan peralatan apa pun sulit dibedakan protein yang dihasilkan oleh daging bangkai dengan daging yang diolah dari hewan yang disembelih. Yang bisa membedakan hanyalah ketaqwaan di dada kita masing-masing,” ujar Zainal yang juga guru besar Fak Kedokteran UNS tersebut.
Sementara itu salah satu pemrakarsa gerakan masyarakat cinta masakan halal tradisional, Noor Huda Ismail, mengatakan gerakan yang dicanangkannya pada dasarnya untuk menjawab adanya indikasi komersialisasi label halal. Dengan gerakan mandiri tersebut diharapkan kesadaran memproduksi dan mengonsumsi makanan dan minuman halal tumbuh dari hati, bukan karena berlindung pada label. (bilal/arrahmah.com)