JAKARTA (Arrahmah.id) – Wakil Sekretaris Jenderal MUI bidang Pusat Dakwah Dan Perbaikan Akhlak Bangsa, KH Arif Fahrudin angkat suara tedkait penganiayaan sadis yang dilakukan Mario Dandy terhadap David Latuhamina.
Setidaknya ada empat hal yang menjadi sorotannya terkait peristiwa tersebut.
“Menurut saya ada banyak hal yang patut untuk diperhatikan atas peristiwa tersebut,” kata KH Arif, sebagaimana dilansir di laman resmi MUI Digital, Sabtu (25/2/2023).
Catatan pertama, ungkapnya, adalah problem akhlak anak bangsa yang belum selesai. Penganiayaan terhadap sesama putra bangsa merupakan cerminan putusnya rasa empati persaudaraan
Kedua, lanjutnya, kasus ini merupakan masalah kekerasan terhadap anak. Karena David masih berusia 17 tahun.
“Anak kita masih rentan terhadap tidak kekerasan dan kejahatan fisik,” ujar KH Atif
Ketiga, perilaku Mario Dandy, yang menganiaya David lanjutnya adalah aksi premanisme.
“Entah apa yang merasuki pikiran pelakunya yang seolah sok berkuasa hingga melakukan penganiayaan terhadap orang lain. Derajat sesama warga negara sama di mata hukum,” tuturnya.
Keempat, tambahnya, diduga adanya pelanggaran dan ketidakwajaran atas pelaporan harta kekayaan ayah Mario Dandy yaitu Rafael Alun Trisambodo yang tercatat sebagai pejabat di lingkungan Ditjen.
“Atas hal tersebut di atas, maka saya menyampaikan kesedihan mendalam atas kekerasan yang menimpa David,” kata dia.
Kemudian, ia meminta agar pihak kepolisian mengusut tuntas aksi premanisme secara tansparan dan ditegakan secara adil dan mendoakan agar David mendapat kesembuhan.
“Saya minta agar kepolisian bertindak tegas atas perilaku premanisme yang mengakibatkan David sebagai korban yang tergolong masih usia anak,” pesannya.
Terakhir, dia mengingatkan akan pola pengasuhan anak di level keluarga juga semakin penting untuk diperhatikan. Terutama oleh kedua orangtua. Sikap dan perilaku hidup yang sederhana hendaknya harus diteladankan kepada anak-anak kita.
“Jangan sampai kita sebagai orangtua terlalu memanjakan anak-anak kita dengan fasilitas mewah yang akhirnya meninabobokan anak-anak kita dari mentalitas empati, menyebabkan mentalitas merendahkan orang lain, yang ujungnya adalah justru menghilangkan potensi anak-anak kita dari bekerja keras untuk meraih status sosialnya secara mandiri,” pungkasnya.
(ameera/arrahmah.id)