JAKARTA (Arrahmah.com) – Singapura ‘kedatangan’ produk daging babi vegan yang tengah gencar dipromosikan.
Mengenai kehalalannya, Majlis Ugama Islam (MUI) Singapura tak memberikan sertifikat halal pada produk itu.
Daging babi vegan adalah produk imitasi daging babi dari bahan nabati (vegan). Salah satu produsennya, Impossible Pork tengah gencar mempromosikan produknya di Singapura sejak 18 November 2021.
Pihaknya bekerja sama dengan 120 restoran di sana untuk meluncurkan menu spesial berbahan daging babi vegan.
Menu yang ditawarkan beragam, mulai dari pork pie, pork belly, hingga sajian iga babi.
Sebagaimana dilansir Detik.com, mengutip Mothership SG (3/12/21), Impossible Pork terbuat dari konsentrat protein kedelai, minyak kelapa, dan air sebagai bahan utamanya. Untuk tekstur dan rasa menyerupai daging didapat dari penggunaan heme.
Heme merupakan protein yang ditemukan di setiap makhluk hidup. Karena sifatnya nabati, heme yang dipakai pada Impossible Pork adalah leghemoglobin yang terbuat dari fermentasi ragi rekayasa genetika.
Meski terbuat dari 100% bahan nabati dan tanpa babi sedikitpun, nyatanya produk daging babi vegan ini tidak bisa mendapat sertifikasi halal Majlis Ugama Islam Singapura (MUIS).
Pihaknya menyarankan agar Muslim bisa menahan diri untuk tidak mengonsumsi produk ini.
“Dalam hal ini, (produk babi vegan) dapat menyebabkan kebingungan bagi masyarakat Muslim dari penggunaan nama makanan yang jelas dilarang menurut hukum Islam,” tulis MUIS.
Sementara itu, Impossible Foods juga menyatakan dengan jelas kalau Impossible Pork bersama produknya yang lain, tidak bersertifikat halal atau bukan tergolong makanan halal.
Perusahaan tetap mempertahankan pemakaian nama babi dalam produk mereka.
“Meskipun Impossible Pork pada awalnya dirancang untuk sertifikasi halal dan kosher, kami tidak melanjutkan sertifikasi tersebut karena kami ingin terus menggunakan istilah “Pork”dalam nama produk kami,” tulis Impossible Foods.
Kebijakan MUI Singapura ini sejalan dengan yang dilakukan Majelis Ulama Indonesia (MUI) untuk produk makanan yang menyerupai makanan nonhalal. Pada Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Nomor 4 Tahun 2003 tentang Standarisasi Fatwa Halal, salah satu poinnya menetapkan masalah penggunaan nama dan bahan, yang terdiri dari empat hal.
Pertama, produk tidak boleh menggunakan nama dan/atau simbol-simbol makanan/minuman yang mengarah kepada kekufuran dan kebatilan.
Kedua, produk tidak boleh menggunakan nama dan/atau simbol-simbol makanan/minuman yang mengarah kepada nama-nama benda/binatang yang diharamkan terutama babi dan khamr, kecuali yang telah mentradisi dan dipastikan tidak mengandung unsur-unsur yang diharamkan seperti nama bakso, bakmi, bakwan, bakpia dan bakpao.
Ketiga, produk tidak boleh menggunakan bahan campuran bagi komponen makanan atau minuman yang menimbulkan rasa atau aroma benda-benda atau binatang yang diharamkan, seperti mie instan rasa babi, bacon flavour.
Keempat, produk tidak boleh mengkonsumsi makanan/minuman yang menggunakan nama-nama makanan/minuman yang diharamkan seperti whisky, brandy, beer, dan lainnya.
(ameera/arrahmah.com)