JAKARTA (Arrahmah.id) – Setelah agresi militer Israel terhadap Palestina, gerakan boikot terhadap produk dan perusahaan yang terafiliasi Israel semakin gencar dilakukan di Indonesia.
Aksi ini semakin menguat dengan diterbitkannya Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Nomor 83 Tahun 2023, mengenai Hukum Dukungan terhadap Perjuangan Palestina, yang menegaskan bahwa mendukung agresi Israel terhadap Palestina adalah haram.
Namun belakangan ini, aksi boikot ini tidak hanya diarahkan ke produk yang terafiliasi dengan Israel saja, namun ada produk negara lain yang dianggap juga layak untuk diboikot, yakni Prancis.
Wakil Sekretaris Jenderal MUI Bidang Ukhuwah, Arif Fahrudin berpendapat bahwa Prancis sudah mengabaikan hak asasi manusia, termasuk hak umat Islam dalam menjalankan ajaran agamanya dengan benar.
“Jadi, masyarakat Indonesia hendaknya juga memboikot produk atau perusahaan multinasional asal Prancis,” ujar Arif Fahrudin usai Forum Ukhuwah Islamiyah dalam keterangan tertulis, Senin (5/8/2024).
Seruan boikot pada produk Prancis mencuat setelah adanya beberapa isu Islamofobia di negeri Menara Eiffel tersebut. Belum lama ini, Menteri Olahraga Prancis, Amelie Oudea- Castera telah menyatakan larangan hijab untuk semua tim Prancis di Olimpiade yang sedang berlangsung sekarang.
Larangan ini di bawah prinsip-prinsip sekularisme Prancis, yakni laicite. Kebijakan ini lantas dikritik oleh Kantor HAM PBB dan Komite Olimpiade Internasional (IOC).
Selain itu, pada 2012, atlet sepakbola wanita Prancis dilarang memakai jilbab saat bertanding dan perempuan dilarang untuk memakai jilbab di sekolah sejak 2004. Namun di sisi lain, masih mengizinkan umat lain mengenakan bintang David, tangan Fatima dan larangan niqab di tempat umum pada 2010.
Tidak hanya itu, Prancis juga dikenal dengan sikapnya yang keras bahkan cenderung Islamofobia terhadap warga Muslim, membiarkan penghinaan dalam bentuk karikatur yang mengejek Nabi Muhammad. Hal itu dianggap sebagai kebebasan berekspresi.
Oleh karena itu, Arif menegaskan, jika kebijakan tebang pilih ini dikaitkan dengan mayoritas masyarakat Indonesia yang Muslim, maka boikot pun ditujukan ke perusahaan multinasional Prancis yang beroperasi dan meraup profit besar dari sekitar 270 juta rakyat Indonesia.
“Pelarangan-pelarangan seperti itu kan mengurangi hak asasi manusia yang sangat mendasar dan itu tidak boleh dilakukan. Maka dari itu, kalau sampai ada perusahaan yang jelas-jelas berasal dari kawasan atau negara manapun yang terlihat jelas melakukan pelanggaran HAM, apalagi pelanggaran hak dasar beragama, kita harus bersikap,” kata Arif.
Menurutnya masyarakat Indonesia bisa menggunakan produk-produk alternatif lainnya yang bukan berasal dari negara yang Islamofobia.
“Kenapa kita harus menjadi maklum kepada perusahaan yang berasal di negara yang Islamofobia? PBB sendiri sudah jelas, tegas, untuk melarang Islamofobia kan?” pungkasnya.
(ameera/arrahmah.id)