JAKARTA (Arrahmah.id) – Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Bidang Hukum dan HAM, Prof Noor Achmad mengatakan bahwa MUI menganggap persoalan nikah beda agama sangat penting.
“Tidak ada perkawinan beda agama. Artinya, perkawinan itu satu agama. Maka dari itu, kalau ada yang menyebut perkawinan beda agama adalah perkawinan campuran, sama sekali tidak dibenarkan,” ujarnya saat membuka Mudzakarah Hukum Nasional dan Hukum Islam, Rabu (13/9/2023).
Kegiatan yang digelar Komisi Hukum dan HAM MUI bertempat di Aula Buya Hamka, Kantor MUI, Jakarta Pusat ini bertajuk: Pernikahan Beda Agama dan Implikasinya Pasca SEMA Nomor 2 Tahun 2023.
Prof Noor menyampaikan, MUI mengapresiasi kehadiran Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 2 Tahun 2023 terkait dengan pernikahan beda agama.
Meski begitu, Prof Noor mengingatkan bahwa banyak pihak yang sedang mencoba untuk mengubah SEMA tersebut dengan alasan hak asasi manusia (HAM) dan kesetaraan serta demokratisasi.
“Maka dari itu, kembali pada sistem hukum, sumber hukum, sekaligus prinsip yang kita kenal di Indonesia, bahwa negara hukum berdasarkan Pancasila, Undang-undang Dasar 1945,” ujarnya.
Menurutnya, dalam hal tersebut, Negara wajib melindungi ibadah umat beragama, termasuk persoalan pernikahan sebagai bagian dari ibadah.
Lebih lanjut, Prof Noor menyampaikan, apabila perkawinan dicampur-campurkan atau mengalami perubahan hukum, maka rumah tangga tersebut akan goyah karena ibadahnya juga goyah.
Hadir dalam kegiatan ini di antaranya Wakil Menteri Agama H. Saiful Rahmat Dasuki, Wakil Ketua MPR H Yandri Susanto, dan Ketua MUI Bidang Fatwa Prof KH Asrorun Niam Sholeh.
(ameera/arrahmah.id)