JAKARTA (Arrahmah.com) – Mahkamah Konstitusi (MK) pada 7 November 2017 memutuskan bahwa “negara harus menjamin setiap penghayat kepercayaan dapat mengisi kolom agama dalam Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan Kartu Keluarga (KK)”.
Melalui putusan tersebut, sejumlah penganut Aliran Kepercayaan berhak untuk mengisi kolom agama pada KTP dan KK sesuai dengan kepercayaan mereka masing-masing.
Namun, menurut Ketua Umum Mejelis Ulama Indonesia (MUI) KH Ma’ruf Amin, putusan MK yang menerima Aliran Penghayat Kepercayaan dimasukkan ke dalam kolom agama KTP dan KK itu, membuat kesepakatan (bernegara) menjadi rusak.
Kiai Ma’ruf mengingatkan, sebelumnya negara telah bersepakat bahwa Penghayat Kepercayaan tidak dimasukkan ke Kementerian Agama, melainkan pada Kementerian Kebudayaan, sehingga dalam penetapan Undang-Undang nomor 23 tentang administrasi kependuduan merujuk pada kesepakatan itu.
“Maka kesepakatan itu berlanjut dalam menetapkan Undang-Undang nomor 23 (kependudukan). Di sana yang masuk identitas di dalam KTP itu agama, maka agama itulah yang menjadi identitas,” ungkap Kiai Ma’ruf di Kantor MUI Pusat, Jalan Proklamasi, Menteng, Jakarta Pusat, Rabu (15/11/2017).
Hal itu dikatakan karena menurut Kiai Ma’ruf, Penghayat Kepercayaan bukanlah agama. Posisinya, kata dia, tidak bisa disamakan dengan enam agama yang telah diakui negara.
“Karena aliran kepercayaan bukan agama dia tidak masuk dalam KTP itu. Tetapi dia dicatat sebagai aliran kepercayaan, komprominya. Tapi tidak masuk identitas kependudukan karena dia bukan agama,” terangnya.
Rais Aam PBNU ini juga menyatakan bahwa masalah agama dan kepercayaan bukan hanya terkait masalah hukum. Tapi, kata dia, hal itu juga mengikat dengan masalah kesepakatan yang telah disepakati sebelumnya.
Kiai Ma’ruf mengatakan, negara ini diatur melalui kesepakatan. Ia mengingatkan, kita sepakat membentuk NKRI, Pancasila, Undang-Undang, semuanya (berdasarkan) kesepakatan.
“Kalau kesepakatan itu tidak dijadikan dasar dan tidak dijadikan pegangan untuk menyelesaikan persoalan kebangsaan, bubar negara ini. Rusak negara ini. Jadi masalah kepercayaan bukan semata-mata hukum, tapi juga kesepakatan,” tegasnya.
Sumber: Salam-Online.com
(samirmusa/arrahmah.com)