JAKARTA (Arrahmah.com) – Praktek santet merupakan bagian dari sihir. Dalam agama praktek seperti ini dilarang dan berdosa besar. Kini tengah digagas upaya mengaturnya di KUHP. Langkah pengaturan santet pun mendapat dukungan dari kalangan ulama.
“Santet itu bagian dari sihir. Sihir itu tidak baik dan tidak boleh. Sihir berbahaya dan merusak, itu harus ditangkal,” kata Ketua MUI Ma’ruf Amin dalam keterangannya, Rabu (21/3/2013) seperti dilansir detikcom.
Langkah mengatur santet dalam KUHP dianggap positif. Tapi yang perlu dilakukan bagaimana cara pembuktiannya. “Itu bagus-bagus saja, supaya orang tidak bermain sihir. Soal pembuktiannya kita serahkan kepada ahli hukum saja,” tuntasnya.
Pagar Nusa dukung Pasal Santet
Senada dengan Ma’ruf, Pencak Silat Pagar Nusa sebagai salah satu badan otonom Nahdlatul Ulama (NU) menilai santet perlu diatur dalam Rancangan KUHP yang tengah dibahas di DPR. Ketua PP Pagar Nusa KH Abdussalam Sokhib menegaskan santet ada dan dikenal di agama Islam, serta mengakui keberadaannya bukan sebuah tindakan musyrik.
Gus Salam mengatakan sejarah keberadaan santet bahkan sudah dikenal sejak zaman Nabi Muhammad SAW.
“Saat itu Nabi disihir oleh kaum Yahudi hingga Allah SWT menurunkan ayat di surat An Nas dan Al Falaq yang mana ayat itu menjadi obat bagi Rasulullah untuk menghilangkan sihir yang mengenainya,” kata Gus Salam dalam siaran persnya, Rabu (20/3/2013).
Gus Salam menyesalkan adanya pernyataan dari MUI Jawa Tengah yang menyebut mengakui keberadaan santet adalah tindakan musyrik.
“Menyebut orang lain musyrik, kafir dan lain sebagainya itu perlu kehati-hatian. Mengkafirkan seorang muslim yang sejatinya tidak kafir, bisa jadi kita sendiri yang bisa disebut kafir. Kalau santet itu ada dan diakui oleh agama, apakah percaya keberadaannya bisa dikatakan kafir?” urai Gus Salam.
Terkait rencana dimasukkannya santet ke dalam salah satu pasal di RUU KUHP, Gus Salam mengatakan hal tersebut bisa dilakukan. Layaknya ilmu kedokteran, santet ditegaskannya juga bisa dibuktikan.
“Ini hanya masalah metode keilmuan saja. Santet bisa dipelajari, dan orang yang mempelajarinya bisa dijadikan saksi untuk sebuah kasus yang dibawa ke persidangan,” ujarnya.
Dalam keterangannya Gus Salam juga mengutarakan alasan yang lebih penting dari dukungannya santet masuk ke dalam salah satu pasal di RUU KUHP. Yaitu tujuan pencegahan agar kejahatan santet tak lagi marak terjadi di tengah kehidupan masyarakat.
“Kalau ada ancaman pidananya, diharapkan orang akan berfikir ulang melakukan santet. Tapi saya juga ingin mengingatkan, dibutuhkan kehati-hatian dalam pembahasan masalah ini,” tandas Gus Salam. (bilal/dtk/arrahmah.com)