JAKARTA (Arrahmah.com) – Sebelum Fatwa yang menyatakan BPJS masih mengandung unsur gharar, maisir, dan riba diterbitkan, Majelis Ulama Indonesia (MUI) sebetulnya telah meminta Otoritas Jasa Keuangan (OJK) untuk segera merealisasikan program Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Syariah yang sangat dinanti umat Muslim. Demikian Arrahmah melansir KSMS pada Rabu (29/7/2015).
Ketua Badan Pelaksana Harian Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN MUI) KH Mar’uf Amin mengatakan, Indonesia sebagai negara Muslim terbesar di dunia dengan perbandingan umat Muslim 85 persen dari total penduduk 260 juta jiwa menuntut pemerintah memperhatikan kehalalan dalam bermuamalah, demikian pula terhadap pelaksanaan program Badan Penyelenggaran Jaminan Sosial (BPJS).
“MUI meminta OJK untuk menyediakan BPJS yang menjalankan prinsip syariah. Masalah BPJS ini akan menjadi bahasan topik dalam Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa Se-Indonesia ke V di Tegal, Jawa Barat, pada Juni mendatang,” sebagaimana Mar’uf ungkapkan kepada KSMS, di kantor MUI Pusat Jakarta, 11 Mei lalu.
Menurutnya, selama ini pemerintah hanya memiliki dua BPJS yang beroperasi dengan sistem konvensional yakni BPJS Ketenagakerjaan (sebelumnya bernama Jamsostek) dan BPJS Kesehatan yang merupakan gabungan dari perusahaan asuransi kesehatan pelat merah. Sejak tahun 2014, tegasnya, MUI sudah menyampaikan kepada OJK agar BPJS menggunakan sistem syariah selain konvensional. “Kami berharap OJK cepat terealisasi BPJS Syariah, sehingga masyarakat Muslim Indonesia terjamin kesehataannya dengan pelayanan yang syar’i,” ujarnya.
Namun demikian tegas Mar’uf, selain mempersiapkan sistem syariah, yang terpenting untuk disiapkan dalam menjalankan keuangan syariah adalah pemimpinnya harus berpikiran syariah. Karena menurutnya, mensyariahkan pejabat itu sangatlah sulit, banyak pengurus bank dan asuransi yang belum memahami syariah. Jangan sampai ada yang tidak paham syariah, lalu menjabat direksi atau direktur.
Jadi, kata Mar’uf, minimal ada aturan mengenai pemahaman syariah terlebih dulu yang harus diketahui dengan baik, begitu pula terkait BPJS Syariah yang sangat dinanti oleh masyarakat Muslim Indonesia. Dalam Ijtima ulama, MUI juga akan mengundang Direktur Utama BPJS Kesehatan dan OJK. “Tujuannya selain untuk membahas BPJS syariah, juga menindaklanjuti agar tidak menguap dan hanya berhenti pada wacana,” ujarnya.
Sementara itu, Ketua Bidang Kerukunan Umat Beragama MUI, Slamet Effendi Yusuf mengatakan, BPJS syariah merupakan hal yang baru lahir dari amanat Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 pasal 24 ayat 32, yakni negara berkewajiban memberikan jaminan sosial. Diharapkan ketika negara mengeluarkan ide-ide tertentu masih melihat kembali ajaran Islam. Dengan semakin berkembangnya ekonomi Islam, banyak sekali keinginan untuk mewujudkan syariah. Sekalipun sejak tahun 80-an Indonesia sangat diwarnai ekonomi konvensional, sehingga timbul dikotomi antara konvensional dan syariah.
Slamet juga menegaskan, dalam Undang-undang (UU) Nomor 24 Tahun 2014 disebutkan bahwa aset jaminan sosial harus disimpan dalam bank pemerintah yang ditunjuk sebagai kostodian. Menurutnya, bank-bank yang ditunjuk untuk menyimpan dana BPJS merupakan institusi yang tidak memiliki nafas syariah.”Faktanya dana jaminan sosial dikelola bank konvensional dengan deposito jangka pendek. Ini yang menyebabkan adanya riba. Padahal dengan pangsa pasar keuangan syariah yang sebesar 5 persen, mempunyai ruang yang lebih luas untuk menampung dana BPJS Syariah,” pungkasnya. (adibahasan/arrahmah.com)