JAKARTA (Arrahmah.id) – Majelis Ulama Indonesia (MUI) meminta kepada Mahkamah Konstitusi (MK) untuk menolak permohonan judicial review terkait pengesahan pernikahan beda agama dalam Undang-undang Perkawinan.
Wakil Ketua Komisi Hukum dan Hak Asasi Manusia MUI Syaeful Anwar saat menyampaikan keterangan MUI selaku Pihak Terkait dalam sidang lanjutan pengujian materiil Undang- Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perkawinan (UU Perkawinan).
“MUI berpandangan, perkawinan tidak hanya menyoal hukum keperdataan, tetapi juga hukum agama. Perkawinan beda agama sebagaimana keinginan dari Pemohon tersebut membuat bangsa Indonesia kembali pada masa kolonial,” kata Wakil Ketua Komisi Hukum dan Hak Asasi Manusia MUI Syaeful Anwar, Kamis (16/6/2022), lansir Merdeka.com.
Menurutnya, ketentuan Pasal 2 ayat (1), Pasal 2 ayat (2), dan Pasal 8 huruf f Ketentuan Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 8 huruf f UU Perkawinan adalah konstitusional dan tidak bertentangan dengan Undang‑Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945).
Karena, lanjutnya, telah mendapatkan authoritative sources yang kuat, yaitu berdasarkan Alinea Ketiga dan Alinea Keempat Pembukaan UUD 1945, dan 20 Pasal 29 ayat (1), dan ayat (2) UUD 1945. Sebab permohonan yang dilayangkan E Ramos Petege selaku pemohon dinilai perkawinan hanya bersifat umum dengan pengesahan yang mengesampingkan hukum agama.
Padahal, ungkap Syaeful, isu hak asasi manusia (HAM) dalam hukum perkawinan di Indonesia bukan penganut HAM yang bebas sebebas-bebasnya. Karena kultur di Indonesia tidak sama dengan kultur pada negara-negara lain di dunia yang merupakan penganut HAM bebas.
“Justru MUI berpandangan seharusnya bangsa Indonesia menghormati perjuangan pendahulu negara dalam membahas UU Perkawinan ini, yang pada saat penyusunannya sampai nyaris menimbulkan perpecahan negara,” tegas Syaeful.
Pada kesempatan yang sama, Wakil Sekretaris Komisi Hukum dan Hak Asasi Manusia MUI Arovah Windiani menyebutkan, sebagai suatu badan hukum yang diakui secara sah, MUI berfungsi sebagai pemberi fatwa kepada umat Islam, negara, dan pemerintah.
Dengan demikian, jelasnya, MUI berperan sebagai pelayan umat dan mitra pemerintah dalam menjaga umat untuk penguatan negara.
Dia menegaskan, MUI hadir dengan tujuan mewujudkan masyarakat yang terbaik, negara yang aman, adil, dan makmur.
“Oleh karena itu, MUI merupakan wadah yang mewakili umat Islam dalam hubungan dan konsultasi antarumat beragama. Oleh karenanya, permohonan ini jelas akan berpengaruh pada tugas pokok dan fungsi serta peran MUI,” ujar Arovah.
Dalam pandangan MUI, lanjutnya, keinginan perkawinan beda agama sebagaimana didalilkan Pemohon dalam perkara ini merupakan kerugian yang bersifat potensial. Menurutnya, Pemohon pada dasarnya tidak menyadari ketentuan dari peraturan perundang- undangan yang ada.
Sebab dalil ‘hendak melakukan perkawinan’, berarti perkawinan yang dimaksud belum terjadi sehingga MUI mempertanyakan perkawinan tersebut yang seharusnya dapat dibatalkan dan menilai alasan Pemohon adalah mengada-ada.
“Sementara adanya dalil HAM dan kebebasan beragama, MUI berpendapat alasan tersebut juga hanyalah bersifat potensial. Untuk itu, permohonan yang diajukan ini tidak memenuhi Peraturan MK sehingga MUI selaku Pihak Terkait memohon agar MK menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat diterima,” jelas Arovah.
Sebelumnya, Seorang pria bernama E Ramos Petege asal Kampung Gabaikunu, Mapia Tengah, Papua melayangkan uji materi (judicial review) terhadap Undang undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perkawinan ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Alasan ajukan gugatan tersebut, karena dirinya merasa dirugikan dengan Undang-undang yang berimbas terhadap dirinya gagal menikah akibat perbedaan agama dengan pasangannya yang beragama muslim, sementara dirinya menganut katolik.
(ameera/arrahmah.id)