JAKARTA (Arrahmah.id) -Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengkritik Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) BNPT yang dinilai membuat gaduh lagi sebab pernyataannya tentang jaringan terduga teroris menyusup ke lembaga publik dan ormas.
Pernyataan yang disorot MUI itu bermula saat BNPT menjelaskan tentang terduga teroris yang tidak langsung berupaya melakukan aksi teror, tapi berusaha menguasai lembaga. Juru bicara BNPT, Irfan Idris, menyebut teroris JI menyusup pada individunya, bukan lembaga atau partainya.
“Jadi bukan partainya, tapi kepada individu yang ada di partai itu. Bukan, organisasi itu yang punya visi dan misi untuk memperkuat kelompok-kelompok mereka,” kata Irfan di Hotel Royal Kuningan, Jakarta Pusat, Jumat (18/2/2022), lansir Detik.com.
Pernyataan BNPT itu menuai kritik dari Sekjen MUI Amirsyah Tambunan yang menilai NPTkembali membuat gaduh.
“Setelah Badan Nasional Penanggulangan Terorisme menyampaikan permintaan maaf secara resmi tanggal 3 Februari 2022 di MUI. Kali ini kembali membuat pernyataan yang membuat gaduh dan menyesalkan di antaranya Irfan Idris mengatakan BNPT tidak bermaksud menuding sejumlah lembaga yang anggotanya ditangkap Densus 88/Antiteror sebagai organisasi teroris. Menurutnya, teroris menyusup dan tidak langsung melancarkan aksi teror, melainkan berupaya menguasai lembaga tersebut. Hal ini juga terjadi di perguruan tinggi,” kata Sekjen MUI Amirsyah Tambunan kepada wartawan, lansir Detik.com, Senin ((21/2/2022).
Amirsyah mempertanyakan mengenai pencegahan penyusup ke ormas. Dia juga mengkritik pernyataan bahwa teroris tidak langsung berupaya melakukan aksi teror, tapi berusaha menguasai lembaga tersebut.
“Yang menjadi pertanyaan, bagaimana kita mencegah penyusup ke ormas sehingga target tidak pada penangkapan. Kata Irfan tidak langsung melakukan aksi di pendidikan tinggi tapi melakukan proses-proses awal, misalnya pembaiatan, pengajian, dengan sangat disayangkan,” ujar Amirsyah.
Narasi ini, kata Amirsyah, harus diinvestigasi bersama-sama sehingga ada fakta dan data seperti apa proses pembaiatan, pengajian yang disebutkan BNPT itu agar tidak meresahkan masyarakat.
Menurut Amirsyah, keberhasilan penanggulangan terorisme bukan pada penangkapan, melainkan pada pencegahan. Dia lantas berbicara mengenai aturan tentang tindak pidana terorisme.
“Karena pencegahan merupakan kewajiban pemerintah, termasuk aparat penegak hukum berdasarkan UU No 5 Tahun 2018 tentang Perubahan atas UU No 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU No 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme menjadi Undang-Undang. Berdasarkan Pasal 43 A (1) Pemerintah wajib melakukan pencegahan Tindak Pidana Terorisme. (2) Dalam upaya pencegahan Tindak Pidana Terorisme, Pemerintah melakukan langkah antisipasi secara terus menerus yang dilandasi dengan prinsip pelindungan hak asasi manusia dan prinsip kehati-hatian. (3) Pencegahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan melalui: a. kesiapsiagaan nasional; b. kontra-radikalisasi; dan c. deradikalisasi. Jadi ada logika hukum yang tidak masuk akal bagi pejabat BNPT,” terangnya.
“Atas dasar itu, keberhasilan penanggulangan tindak pidana terorisme bukan pada penangkapan tapi pada pencegahan sehingga mengedepankan fungsi negara melindungi warga negara dari terorisme melalui deradikalisasi dan kontra-radikalisasi,” pungkas Amirsyah, lansir Detik.com.
(ameera/arrahmah.id)