BANTEN (Arrahmah.com) – Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kota Serang menolak permintaan kementerian agama untuk menyosialisasikan kembali penggunaan pengeras suara di masjid sesuai dengan surat edaran Dirjen Bimas Islam nomor B. 3940/DJ.III/HK.00.07/08/2018 tanggal 24 Agustus 2018.
Sekretaris MUI Kota Serang Amas Tadjudin mengatakan, terlalu kecil bagi negara untuk mengurusi persoalan volume pengeras suara dimasjid. Kata Amas, lebih baik negara lebih fokus dalam mengurusi hal-hal besar dan strategis yang akan berdampak pada rakyat banyak.
“Terlalu kecil negara cq kementerian agama mengurusi volume pengeras suara di masjid, banyak urusan-urusan besar dan strategis yang membutuhkan kehadiran negara untuk mengurusinya. seperti urusan kemiskinan, urusan mahalnya biaya pendidikan, urusan kesehatan, urusan pesantren yang jauh lebih penting diurus oleh kementerian agama ketimbang ngurusin speker masjid,” kata Amas kepada Kabar Banten, Senin (27/8/2018).
Menurut Amas, pemerintah melalui kementerian agama harus meninjau ulang urgensi dari aturan tersebut. Pemerintah jangan hanya berdalih jika peraturan itu sudah ada sejak tahun 1978 yang tertuang dalam Instruksi Dirjen Bimas Islam nomor Kep/D/101//1978 yang kemudian bisa memicu ketidak percayaan rakyat terhadap pemerintah.
“Padahal justru sejatinya semua komponen pemerintahan harus membangun kepercayaan masyarakat agar semua proses pembangunan dapat berjalan lancar,” ucapnya.
Dia menilai, pengeras suara tidak setiap saat digunakan, hanya pada waktu sholat untuk memanggil umat muslim beribadah. Sehingga menurutnya peraturan tentang volume pengeras suara sama sekali tidak ada urgensinya.
“Apa urgensinya kementerian agama ngurusin speker, ini perlu penjelasan agar masyarakat muslim tidak resah bergejolak yang akhirnya salah faham dan menimbulkan hal buruk dan meluasnya persepsi publik terhadap pemerintahan saat ini,” tuturnya.
Diberitakan sebelumnya, kementerian agama melalui Dirjen Bimas Islam Muhamadiyah Amin mengatakan instruksi sosialisasi penggunaan pengeras suara dikeluarkan untuk mengkaji ulang keuntungan dan kerugiannya, salah satu keuntungannya adalah sasaran penyampaian dakwah dapat lebih luas.
Akan tetapi, lanjut Amas, penggunaan pengeras suara juga bisa mengganggu orang yang sedang beristirahat atau mengganggu penyelenggaraan upacara keagamaan. Untuk itu, diperlukan aturan dan itu sudah terbit sejak 1978 lalu.
Sumber: Kabar Banten
(ameera/arrahmah.com)