JAKARTA (Arrahmah.com) – Melihat perkembangan kasus korupsi yang kian merebak dan mengakar ditengah-tengah masyarakat Indonesia, Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kecamatan Cipanas, Kabupaten Lebak KH Emben Umyani mengaku prihatin atas keadaan tersebut, sehingga Ia berharap penegakan hukum harus tegas dan tidak tebang pilih.
“Selama ini penegakan hukum bagi pelaku korupsi belum maksimal,” kata KH Emben Umyani di Rangkasbitung, Kabupaten Lebak, Jumat(3/2).
Ia mengatakan, gejala korupsi di Tanah Air sudah merupakan seni dan budaya sehingga berbahaya jika tidak ditegakan hukum.
Saat ini banyak pelaku korupsi yang divonis hukuman ringan dan tidak sesuai dengan nilai kerugian uang Negara, pelaku korupsi harus dihukum seberat-beratnya jika mereka nilainya merugikan uang negara cukup besar. Sebab korupsi perbuatan yang menyengsarakan orang banyak.
“Dan haram hukumnya menurut agama Islam.” cetus KH Emben.
Selama ini, kata KH.Emben, melihat moral bangsa ini sangat memprihatinkan dengan maraknya kasus korupsi di mana-mana, bahkan pelakunya melibatkan pejabat negara, kepala daerah, politisi dan anggota legislatif.
” Mereka pelakunya sebagai pemimpin masyarakat maka bagaimana nasib bangsa ini ke depan?”.katanya prihatin
Kementerian Dalam Negeri mengeluarkan data 2011 sekitar 158 kepala daerah (gubernur, bupati dan wali kota) tersangka kasus tindak pidana korupsi.Bahkan, jumlah tersebut sangat besar, sekitar sepertiga dari jumlah kepala daerah.
Menurut dia, gejala korupsi di Tanah Air sudah merupakan seni dan budaya sehingga berbahaya apabila tidak ditegakan hukum yang tegas.
Pemerintah harus berkomitmen dalam pemberantasan dan penegakan hukum bagi kasus korupsi.
“Kami berharap penegakan supremasi hukum bagi pelaku korupsi tidak tebang pilih, apakah dia pejabat negara atau politisi jika mereka melakukan perbuatan korupsi maka harus diproses secara hukum,” ujar Kh.Emben.
Ia menyebutkan, lembaga Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang dibentuk Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sudah bagus dan banyak menyeret pelaku korupsi yang dilakukan pejabat negara, kepala daerah dan anggota legislatif.
Namun demikian, masyarakat tetap terus memantau KPK agar lembaga penanganan korupsi lebih maksimal dan tidak tebang pilih.
Ia menambahkan, untuk mencegah prilaku korupsi tersebut harus menempuh dua pendekatan yakni dengan cara kultur budaya dan stuktural kelembagaan.
Pendekatan kultur budaya melalui pendidikan karakter, keagamaan, pengenalan pancasila dan gerakan antikorupsi.
Sedangkan, pendekatan stuktural kelembagaan dengan adanya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi, dan kebijakan yang memberikan hukuman berat kepada pelaku korupsi.
“Dengan dua pendekatan ini tentu kasus korupsi bisa dieleminir dan tidak akan terjadi di mana-mana,” pungkasnya.(bilal/atr/arrahmah.com)