SEMARANG (Arrahmah.com) – Sekretaris Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Tengah, Prof. Ahmad Rofiq menilai kebebasan beragama dengan penodaan agama berbeda konteks, sehingga tidak dapat disamakan.
“UU Nomor 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penodaan Agama tidak memengaruhi kebebasan beragama yang dimiliki oleh setiap orang,” kata Rofiq di Semarang, Senin (19/4).
Ia mencontohkan, kasus penganut Ahmadiyah yang mengakui Mirza Ghulam Ahmad adalah nabi setelah Nabi Muhammad SAW. Hal itu tentunya menodai Islam yang meyakini Nabi Muhammad SAW sebagai nabi penutup.
Menurut Rektor Universitas Wahid Hasyim (Unwahas) Semarang itu, kebebasan beragama yang menjadi hak setiap orang tidak lantas bisa dilakukan dengan menodai agama, karena kebebasan tetap memiliki batasan-batasan yang telah ditentukan.
“Umpama, seseorang yang memiliki sepeda motor tentunya bebas mengendarainya di jalan raya, karena sepeda motor itu haknya. Namun, bukan berarti dia bisa melanggar hak orang lain yang juga menggunakan jalan raya,” katanya.
Undang-Undang tentang Pencegahan Penodaan Agama itu, lanjutnya, sudah menjadi rambu-rambu yang tepat untuk mengatur kehidupan beragama masyarakat Indonesia, sehingga keberadaannya tetap diperlukan.
“Setiap agama telah memiliki pedoman yang diyakini para pemeluknya, seperti halnya Islam. Kalau memang ada perbedaan tentunya hanya berkaitan dengan amaliyah yang tidak bersifat akidah,” katanya.
Oleh karena itu, kata dia, pihaknya mengapresiasi dan menyambut positif penolakan Mahkamah Konstitusi terhadap permohonan `judicial review` (uji materi) UU tentang Pencegahan Penodaan Agama tersebut.
“Saya tidak bisa membayangkan kalau sampai MK mengabulkan permohonan uji materi UU tentang Pencegahan Penodaan Agama itu, sebab UU tersebut selama ini merupakan rambu-rambu yang mengatur kehidupan beragama,” kata Rofiq.
Sebelumnya, MK memutuskan untuk menolak seluruh permohonan uji materi UU Nomor 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penodaan Agama, sehingga UU tersebut dinyatakan konstitusional dan masih dapat dipertahankan.
Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa UU tentang Pencegahan Penodaan Agama masih tetap dibutuhkan secara moril sebagai pengendali ketertiban umum dalam rangka kerukunan umat beragama di Indonesia.
Selain itu, MK juga berpendapat bahwa negara berkepentingan untuk membentuk UU Pencegahan Penodaan Agama sebagai pelaksanaan tanggung jawabnya melindungi hak asasi manusia sesuai prinsip negara hukum.
Uji materi UU Pencegahan Penodaan Agama diajukan oleh pihak pemohon yang terdiri atas tujuh LSM dan beberapa orang lainnya secara pribadi yaitu Abdurrahman Wahid (alm), Musdah Mulia, Dawam Rahardjo, dan Maman Imanul Haq. (ant/arrahmah.com)