JAKARTA (Arrahmah.com) – Menurut Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Timur (Jatim), ada kesengajaan menghilangkan jejak kejahatan yang dilakukan oleh PKI yang telah melakukan teror dan pembantaian selama beberapa tahun dengan mereduksi peristiwa hanya pada saat pasca 30 September 1965 saja, yaitu peristiwa penumpasan terhadap G 30 S PKI.
“Peristiwa penumpasan G 30 S PKI ini kemudian diangkat sedemikian rupa sebagai peristiwa yang mengandung pelanggaran HAM berat dengan memposisikan PKI sebagai korban. Kenyataan ini dapat dicermati dari berbagai upaya yang dilakukan akhir-akhir ini seperti kasus film senyap yang mengungkapkan ada seorang keluarga aktivis PKI yang mencari tahu nasib kerabatnya yang dibunuh pada saat pasca G 30 S PKI. Film ini menyajikan sebuah kasus mikro bagaimana seorang aktivis PKI dibunuh oleh masa. Tetapi secara sengaja film ini tidak menyajikan informasi secara utuh kenapa masyarakat membantainya. Padahal bila dicermati secara utuh, pembantaian terhadap PKI adalah merupakan tindakan penumpasan karena PKI telah melakukan pemberontakan,” tulis pernyataan sikap MUI.
MUI Jatim mengeluarkan penyataan sikap yang ditujukan kepada Presiden Joko Widodo tentang PKI. Berikut selengkapnya pernyataan tersebut. yang diterima redaksi Selasa (17/5/2016).
PERNYATAAN SIKAP MUI PROVINSI JAWA TIMUR
MENYIKAPI KEBANGKITAN KOMUNISME DI INDONESIA
Pasca reformasi yang ditandai dengan era demokratisasi dan pengakuan terhadap HAM semakin kuat, telah dimanfaatkan oleh para mantan aktivis dan nara pidana Partai Komunis Indonesia (PKI) dan simpatisannya untuk menghilangkan jejak kejahatan masa lalu dengan melakukan berbagai upaya, diantaranya:
Membangun opini dengan memutarbalikkan fakta bahwa peristiwa masa lampau yang melibatkan PKI bukan merupakan pemberontakan, tetapi sebagai peristiwa rekayasa politik yang dilakukan oleh para elit.
Ada kesengajaan menghilangkan jejak kejahatan yang dilakukan oleh PKI yang telah melakukan teror dan pembantaian selama beberapa tahun dengan mereduksi peristiwa hanya pada saat pasca 30 September 1965 saja, yaitu peristiwa penumpasan terhadap G 30 S PKI.
Peristiwa penumpasan G 30 S PKI ini kemudian diangkat sedemikian rupa sebagai peristiwa yang mengandung pelanggaran HAM berat dengan memposisikan PKI sebagai korban. Kenyataan ini dapat dicermati dari berbagai upaya yang dilakukan akhir-akhir ini seperti kasus film senyap yang mengungkapkan ada seorang keluarga aktivis PKI yang mencari tahu nasib kerabatnya yang dibunuh pada saat pasca G 30 S PKI. Film ini menyajikan sebuah kasus mikro bagaimana seorang aktivis PKI dibunuh oleh masa. Tetapi secara sengaja film ini tidak menyajikan informasi secara utuh kenapa masyarakat membantainya. Padahal bila dicermati secara utuh, pembantaian terhadap PKI adalah merupakan tindakan penumpasan karena PKI telah melakukan pemberontakan.
Sehubungan dengan poin (b dan c) tersebut, mereka juga membentuk beberapa organisasi seperti Paguyuban Korban Orde Baru (Pakorba) Sekretariat Bersama Korban 1965, Lembaga Perjuangan Rehabilitasi Korban Rezim Orde Baru (LPR KROB), Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan 1965/1966 (YPKP 1965), dll. Semua lembaga-lembaga tersebut dibentuk untuk memberikan citra bahwa PKI adalah korban bukan pelaku pemberontakan, sehingga dengan cara ini mereka dapat menuntut berbagai hal atas nama HAM.
Dengan menggunakan kekuatan lain membuat tuntutan mencabut TAP MPRS No XXV/1966 ( anggota DPR RI Bambang Beathor Suryadi pada HUT RI ke-69 mengatakan: Hanya dengan mencabut TAP MPRS No XXV/1966, bangsa ini kembali mampu membentengi Bangsa, Negara dan Rakyat dari rongrongan ideologi dan maksud bangsa lain, (http://www.aktual.co/politik/183652 anggota-dpr-ri-gulirkan-isu-pencabutan-tap-mprs-no-xxv-1966)
Membuat tuntutan agar Presiden meminta maaf atas pelanggaran HAM tahun 1965 dengan memposisikan PKI sebagai korban.
Keinginan menghapus materi tentang pemberontakan PKI pada mata pelajaran sejarah.
Dan masih banyak lagi upaya-upaya yang lain, termasuk upaya inisiasi kebijakan sehingga terbit UU Kebenaran dan Rekonsiliasi.
Kenyataan di atas harus disikapi bersama:
Komunisme adalah faham ideologi ekstrim radikal berbasis pada faham marxisme-lenninisme yang sudah banyak melakukan tindakan kejahatan brutal membantai manusia di berbagai negara. Tidak kurang dari 500.000 orang dibantai oleh Lennin di Rusia, 2,5 juta rakyat Kamboja dibantai oleh Pol Pot, jutaan rakyat RRC dibantai oleh Mao Tsetung, dll.
Komunisme adalah faham atheisme yang sudah tentu menjadi lawan kaum beragama, sehingga dalam setiap pemberontakannya umat beragama menjadi sasarannya.
Idiologi komunis juga bertentangan secara diametral dengan idiologi Pancasila, karena itu idiologi komunis tidak boleh diberi peluang untuk hidup di Indonesia.
Di Indonesia sendiri PKI beberapa kali melakukan pemberontakan dengan melakukan pembantaian yang sasaran dan korbannya adalah umat Islam (para kiyai dan tokoh), khususnya tahun 1948 dan 1965.
Peristiwa pasca September 1965 adalah peristiwa penumpasan pemberontak PKI sehingga sudah menjadi kewajiban negara dan masyarakat untuk melakukan bela negara menyelamatkan dari kaum pemberontak, maka negara tidak ada relevansinya meminta maaf dan dalam penumpasan pemberontakan Negara tidak bisa dituduh sebagai pelanggar HAM.
Karena itu menolak keras jika ada upaya untuk mendesak pemerintah agar meminta maaf pada PKI.
Keinginan para aktivis liberal untuk menuntut kasus 1965 sebagai pelanggaran HAM tidak masuk akal, apa lagi sampai membawa kasus ini ke Mahkamah Internasional. Bukankah kasus penjajahan Belanda di Indonesia lebih dari sekedar pelanggaran HAM. Demikian juga pembantaian yang dilakukan oleh PKI khususnya tahun 1948. Kenapa hal ini tidak dituntut.
Pemahaman HAM harus dibaca secara utuh, bahwa HAM tidak tak terbatas, negara telah membuat aturan sesuai dengan UUD 1945 pasal 28j dan pasal 73 UU No. 39 th 1999 tentang HAM.
Generasi saat ini harus ditunjukkan dengan sejarah. (memotret sejarah tidak hanya pada saat tahun 1965 tapi harus utuh, bahwa pemberontakan dan teror yang dilakukan PKI telah berlangsung bahkan sejak sebelum Indonesia merdeka antara lain th 1926, 1948 dan 1965)
Mengajak semua fihak untuk obyektif, melihat masa lalu tidak anakronis yaitu melihat dengan dasar kondisi saat ini dimana PKI merengek seperti orang tak berdaya
Mengajak semua fihak untuk obyektif, melihat siapa yang menjadi korban. Situs-situs sejarah seperti: (a) situs di desa Soco – Magetan terdapat dua sumur pembantaian, sumur yang satu berisi 78 jenazah, dan sumur ke dua berisi 30 jenazah; (b) situs di desa Cigrok sebelah selatan Takeran, Magetan terdapat sumur tua untuk menimbun para korban antara lain K.H Imam Sofwan, Kiai Zubair dan Kiai Bawani dari pesantren Kebonsari; (3) situs di desa Cemethuk, Kecamatan Cluring, Kabupaten Banyuwangi, terdapat tiga lubang sumur. Sumur pertama diisi 11 orang, sumur kedua 11 orang dan sumur ketiga 40 orang; dan (4) situs sumur Lubang Buaya yang digunakan untuk membantai para perwira TNI tahun 1965. Situs-situs tersebut menjadi bukti nyata kekejaman PKI khususnya sejak tahun 1948 sampai dengan tahun 1965 yang sebagian besar korbannya adalah umat Islam.
Mewaspadai adanya agitasi dan provokasi termasuk adanya upaya mendramatisir jumlah korban dari fihak PKI. Karena itu, kami menolak rencana pencarian kuburan masal tahun 1965. Kami khawatir adanya rekayasa jumlah korban dengan mengklaim kuburan atas nama kuburan korban tahun 1965.
Menolak segala tindakan untuk memberikan kesempatan bangkitnya kembali komunisme, fakta sejarah menjadi bukti bahwa komunisme telah berkali-kali mendalangi pemberontakan, keberadaannya adalah bahaya laten terhadap kedaulatan negara NKRI yang berdasarkan Pancasila.
Mendorong pemerintah untuk terus berupaya meningkatkan kesejahteraan seluruh rakyat sehingga tidak memberikan peluang bagi propaganda komunisme.
Kekhawatiran kami terhadap kecenderungan sikap pemerintah saat ini.
Sikap pemerintah yang seakan-akan memberikan angin segar kepada eks PKI dan simpatisannya seperti yang tersirat dari beberapa kejadian akhir-akhir ini, jelas-jelas mengusik ketenganan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang saat ini sudah menuju ke arah yang semakin kondusif.
Kami tidak menampik keinginan pemerintah untuk memperlakukan mereka secara kemanusiaan, namun jika dikait-kaitkan bahwa mereka adalah korban tragedi 1965 jelas mencederai rasa keadilan sebagian besar dari anggota masyarakat yang justru menjadi korban yang sebenarnya atas kebiadabaan yang dilakukan oleh PKI sejak tahun 1948 dan jika dipaksakan justru berpotensi membuka luka lama seperti membangunkan singa yang sedang tidur.
Kami berharap pemerintah bersikap obyektif, melihat fakta secara utuh, tidak anakronis, dengan dalih rekonsiliasi sekalipun. Dalam perjalanan sejarah para pemberontak selain PKI yang telah ditumpas oleh TNI seperti PRRI, Permesta, DI/TII, mereka secara kesatria tidak pernah merengek-rengek menuntut keadilan HAM atas tindakan TNI, karena mereka menyadari bahwa yang dilakukannya adalah kudeta terhadap pemerintahan yang sah sehingga sudah menjadi kewajiban bagi TNI untuk menumpasnya.
Demikian pernyataan sikap ini kami sampaikan. Semuanya adalah wujud dari kepedulian kami terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang kami cintai serta kekhawatiran kami kerhadap masa depan NKRI di masa mendatang.
Surabaya, 11 Mei 2016
Dewan Pimpinan MUI Provinsi Jawa Timur
Ketua Umum, Abdusshomad Buchori
Sekretaris Umum, Ainul Yaqin, S.Si. M.Si.
(azmuttaqin/arrahmah.com)