SEMARANG (Arrahmah.com) – Sekretaris Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Tengah, Ahmad Rofik, menilai, santet merupakan hal yang kasat mata sehingga sulit dibuktikan berdasarkan hukum yang membutuhkan pembuktian. Hal itu diungkapkannya ketika mengomentari Pasal santet yang akan dimasukkan dalam RUU Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
“Inti persoalan adalah bagaimana cara pembuktiannya. Secara materiil bila ada orang yang nyantet siapa yang bisa buktikan? Masak kita mau pakai santet untuk membuktikan praktik santet? Mana mau dong orangnya, kecuali kalau pakai teknik hipnotis, mungkin pelaku santet bisa dihipnotis terus diinterogasi, tapi ya aneh juga kan?” kata Ahmad seperti dilansir Okezone, Senin (18/3/2013).
Jika pasal tersebut dipaksakan, dikhawatirkan akan menambahkan keruwetan di dunia hukum kita. Dia pun menyarankan agar wacana pasal santet itu dikesampingkan dari pemikiran para wakil rakyat.
“Nabi Muhamad melarang kita menjatuhkan hukuman atas apapun yang tidak terlihat, sudah jelas kok itu. Dalam Islam itu kita harus hindari menjatuhkan hukuman atas ketikdakjelasan. Siapa yang bisa melihat santet, membuktikannya bagaimana? kan susah to?,” tutur Ahmad.
“Saya ingatkan kepada mereka yang ingin memasukan santet dalam ranah hukum, bahwasannya sesuatu yang tidak tampak hanya Allah yang mengetahuinya. Jadi manusia jangan-jangan coba-coba mengurusi itu, musyrik nanti. Saya sarankan janganlah kalau mau disahkan,” tegasnya.
Seperti diketahui, saat ini DPR sedang menggodok RUU KUHP yang dalam Pasal 293 mengatur mengenai ilhu hitam atau santet. Bunyi pasal tersebut adalah:
(1) Setiap orang yang menyatakan dirinya mempunyai kekuatan gaib, memberitahukan harapan, menawarkan, atau memberikan bantuan jasa kepada orang lain bahwa karena perbuatannya dapat menimbulkan penyakit, kematian, penderitaan mental atau fisik seseorang, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV.
(2) Jika pembuat tindak pidana sebagaimana dimaksudkan pada ayat (1) melakukan perbuatan tersebut untuk mencari keuntungan atau menjadikan sebagai mata pencaharian atau kebiasaan, maka pidananya dapat ditambah dengan 1/3 (satu per tiga). (bilal/okz/arrahmah.com)