JAKARTA (Arrahmah.com) – Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Barat menyayangkan adanya rekomendasi labelisasi Halal dan Jujur dari kalangan Nahdlatul Ulama (NU). Seandainya NU melakukan labelisasi, MUI tidak bisa mencegah karena itu hak salah satu ormas Islam terbesar di Indoneia itu.
“Namun yang kami pertanyakan, apakah NU punya LPPOM atau tidak. Kan melakukan labelisasi itu enggak bisa sembarangan,” kata Sekertaris Umum MUI Jabar, Rafani Achyar, Kamis (2/2).
Rafani menjelaskan, Lembaga Pengkajian Pengawasan Obat dan Makanan (LPPOM) MUI dibentuk berdasarkan undang-undang. “LPPOM ada dasarnya. Nah, NU ada tidak dasarnya?” tanyanya.
Dalam revisi UU mengenai produk halal ada usulan bahwa labelisasi dilakukan oleh pemerintah saja. Tetapi akhirnya usulan tersebut tidak dipakai, dan MUI tetap sebagai pelaku labelisasi halal.
“Jika NU punya LPPOM, apakah secara UU dibenarkan ada lembaga yang melabelisasi selain MUI,” ujarnya.
Selain itu, pembentukan LPPOM juga tidak mudah. LPPOM didiriakan MUI khusus untuk mengkaji pangan, kosmetik, dan obat-obatan. Sumber daya manusia (SDM) yang ada di LPPOM bukan hanya ahli agama, tetapi ada SDM dari berbagai disiplin ilmu seperti ahli pangan, makanan, obat, kimia, gizi.
“Jadi tak mudah untuk dirikan LPPOM. Selain perlu SDM juga harus ada labolatorium. Hasil uji lab itu nanti diserahkan ke Komisi Fatwa,” paparnya.
Di sisi lain, MUI merupakan representasi seluruh umat Islam di Indonesia. “Jadi seharusnya ormas lain tidak perlu mendirikan lembaga serupa. Tetapi jika NU tetap ingin mendirikan lembaga labelisasi, ya itu hak mereka. Saya kira urusan ormas yang bersangkutan,” ungkapnya.
Disinggung munculnya upaya labelisali karena ketidakpercayaan terhadap labelisasi yang dilakukan MUI, Rafani tidak membantahnya.
“LPPOM memang diakui masih memiliki kelemahan, jaringan tenaga kerja masih terbatas. Jadi belum sempurna. Masih banyak kelemahan, tetapi kami tetap kerja keras meski terbatas,” pungkasnya.(bilal/oz/arrahmah.com)