JAKARTA (Arrahmah.com) – Ketua dan Kordinator Pengurus Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat Dr. KH. Ma’ruf Amin minta agar setiap restoran di Indonesia segera mengajukan sertifikat halal. Hal itu untuk melindungi konsumen yang mayoritas umat Islam. Kyai Ma’ruf mengakui bahwa selama ini MUI tidak mempunyai kekuatan pemaksa agar restoran mengajukan sertifikat halal. Tetapi pemilik restoran hendaknya bisa memahami kondisi riil di Indonesia.
“Di Indonesia ini kan mayoritas umat Islam. Jadi, kita berkewajiban untuk melindungi umat dari makanan yang tidak halal. Sekarang warung-warung dan restoran modern menjamur dengan sajian makanan beraneka ragam, termasuk makanan internasional. Untuk menjaga umat, restoran itu harus jelas, apakah masakannya halal atau tidak. Jadi, kita himbau agar mereka segera mengajukan sertifikat halal,” katanya menjawab pertanyaan MUIonline di Jakarta, Jum’at (27/9/2013) menanggapi banyaknya restoran yang belum bersertifikat halal.
Selanjutnya Kyai Ma’ruf mengemukakan, selain warung dan restoran, proses permohonan sertifikat halal juga agar dilakukan oleh seluruh produk makanan dan minuman. Kyai Ma’ruf minta agar umat Islam juga berhati-hati dalam memilih restoran maupun makanan dan minuman, terutama untuk konsumsi anak-anak yang kini jenisnya sudah terlalu banyak.
Untuk itu, Kyai Ma’ruf juga minta agar pihak Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) segera menyelesaikan proses pembuatan Undang-Undang Jaminan Produk Halal (JPH). “DPR harus segera selesaikan, jangan berlarut-larut. Agar kita punya aturan yang jelas tentang produk halal ini. Kita sudah sepakat bahwa pemberian label halal tetap diberikan kepada MUI. Tapi yang paling penting adalah DPR agar segera selesaikan tugasnya itu,” kata Kiai Ma’ruf.
DPR dukung
Di bagian lain, secara terpisah, DPR mendukung langkah MUI mengumumkan restoran yang enggan mengurus sertifikasi halal. Langkah itu dinilai sebagai bentuk perlindungan terhadap umat. Anggota DPR Jazuli Juwaini mengatakan, MUI perlu memperjelas status restoran dan status makanan yang dijualnya. Jangan sampai orang Muslim Indonesia tidak tahu, bahwa makanan yang diknsumsi itu ternyata tidak halal, katanya.
Untuk itu, menurut Jazuli, DPR menggenjot agar Undang-Undang Jaminan Produk Halal bisa disahkan. Jazuli mengatakan, UU Jaminan Produk Halal ini sangat mendesak untuk memberi kepastian pada status produk. Dengan adanya aturan ini, semua restoran dan pengusaha penyedia produk berkewajiban mengurus sertifikasi halal. “Jika restoran itu telah memampang sertifikasi halal, otomatis umat Islam akan mencarinya,” katanya.
Jika nanti UU ini telah berlaku, menurut Jazuli, umat Islam di Indonesia bisa mendapatkan panduan produk atau restoran yang halal. Jika ada restoran yang tidak memiliki sertifikat halal maka masyarakat yang memutuskan apakah akan tetap mengonsumsinya atau tidak. Jazuli mengakui bahwa ada juga yang mengusulkan agar ada pemberian label “haram” pada restoran atau produk yang tidak halal. Namun, hal ini bisa memicu kontroversi karena adanya diskriminasi. Selain itu, tidak semua masyarakat Indonesia beragama Islam yang juga perlu dihormati.
“Pemberian label haram tidak harus dilakukan. Hanya status halal saja yang perlu dipampang di depan restoran. Meski demikian, transparansi restoran perlu didorong. Restoran harus mengumumkan jika memang tidak menyediakan produk halal karena segmentasi pasarnya bukan umat Islam,” ujar Jazuli.
Menurut Jazuli, masih terjadi perdebatan di DPR tentang perlunya kewajiban labelisasi halal itu. Padahal, status kehalalan restoran merupakan hak publik yang wajib dipenuhi. MUI sendiri memberikan batas waktu hingga akhir Oktober 2013 bagi seluruh restoran franchise atau non-franchise untuk mengurus label halal ke MUI.
Direktur Lembaga Pengkajian Pangan Obat-obatan dan Kosmetika (LPPOM) MUI Dr. H. Lukmanul Hakim mengungkapkan, pihaknya telah bekerja sama dengan Dirjen Perdagangan memberi tenggat tiga bulan sejak awal puasa 2013 lalu kepada restoran franchise atau non-franchise ternama agar mengurus label halal ke MUI.
Namun, mereka tidak mengindahkan anjuran MUI. Mereka menunjukkan keengganan mengurus label halal ke MUI yang memberi waktu hingga akhir Oktober 2013. LPPOM MUI menilai ada dua hal yang membuat restoran waralaba dan nonwaralaba ternama enggan mengurus label halal MUI. Pertama, karena mereka sudah yakin bila kandungan makanan di restorannya haram. Kedua, menurutnya, pihak restoran ragu karena kemungkinan produk makanan mereka bercampur antara yang halal dan haram.
(azmuttaqin/mui/arrahmah.com)