JAKARTA (Arrahmah.com) – Sebagai upaya mengurangi aksi “terorisme” yang diatas namakan Islam, Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat kembali menggelar Diskusi Panel “Membangun Ukhuwah di Tengah Pluralitas Pemikiran dan Gerakan Islam di Indonesia” di Kantor MUI Pusat, Jl. Proklamasi No. 51, Menteng, Jakarta Pusat, pada Sabtu (30/7/2011). Dalam menangani kasus terorisme, MUI menjalin kemitraan dengan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT).
Dialog Ukhuwah Islamiyyah ini diselenggarakan oleh Forum Ukhuwah Islamiyyah (FUI) yang pada dasarnya merupakan bentukan MUI. Dialog tersebut bertujuan untuk menjembatani antar gerakan dan pemikiran Islam di Indonesia dan memberikan kesadaran terhadap pentingnya ukhuwah Islamiyyah.
Hadir sebagai pembicara, antara lain: Jusuf Kalla (Keynote speaker), Prof Dr. H. Atho Mudzhar (Departemen Agama), Dr. H. Saleh Daulay (Muhammadiyah), Prof. Dr. Didin Hafidhuddin (Ketua Umum Baznas), Irjen Pol (Purn) Ansyad Mbay (BNPT), dan Marsda Ma’roef Syamsuddin (BIN).
Diskusi mengusung tema: “Membangun ukhuwah diantara pluralitas pemikiran dan gerakan Islam di Indonesia”. Ada ada beberapa sub tema yang dibahas dalam diskusi panel tersebut, diantaranya: Keragaman pemikiran Islam di Indonesia dan bahaya liberalism; Peta gerakan dan pemikiran Islam di Indonesia dan upaya membangun ukhuwah Islamiyah; Mencari solusi atas problematika social sebagai penyebab radikalisme; Mengenal gerakan radikalisme Islam dan gerakan separatism di Indonesia sebagai ancaman Ukhuwah Wathoniyyag (NKRI).
Menurut Ketua Komisi Forum Ukhuwah Islamiyah MUI, Drs. H. Adnan Harahap, fenomena gerakan Islam di Indonesia di satu sisi mendapat lahan subur untuk tumbuh dan berkembang. Namun di sisi lain, mendapat tantangan yang cukup berat, ketika berhadapan dengan liberalisasi ekonomi dan politik yang pada gilirannya masuk pada wilayah pemahaman keagamaan.
“Tidak jarang masyarakat berada dalam kebingungan menghadapi keragaman pemikiran tersebut, mulai dari pemikiran liberal hingga ideologi radikal. Konflik-konflik itu jika dibiarkan akan menyebabkan kekacauan dan keburukan pada umat Islam, bahkan menjadi sebab kelemahan umat Islam, sehingga akan dimanfaatkan oleh musuh-musuh Islam untuk kepentingan mereka. Karena itu dibutuhkan ukhuwah Islamiyah dengan mengajak para tokoh yang dianggap mewakili kelompok dan organisasi mereka untuk berdialog secara intens,” jelas Adnan.
Sementara itu, terkait dimasukkannya Al Qur’an sebagai barang bukti “terorisme”, MUI mengecam keras penanganan tindakan terorisme tersebut.
“Tidak benar itu, bila Al-Qura’n dijadikan barang bukti terorisme. Untuk dijadikan barang bukti, seharusnya hal-hal yang mengarahkan kepada tindakan terorisme itu sendiri. Semua umat Islam tentu punya Al-Qur’an sebagai kitab sucinya. Yang tidak punya malah diragukan keislamannya. Karena itu, jangan jadikan Al Qur’an sebagai barang bukti. Kalau Al Qur’an dijadikan barang bukti, itu sama saja menyebut umat Islam terorisme semua. Jadi harus diluruskan,” ungkap KH. Ma’ruf Amin.
MUI juga mengingatkan Densus 88 agar proporsional ketika melakukan razia ke rumah yang diduga pelaku tindakan terorisme, terutama saat merazia rumah yang bersangkutan. Hendaknya pihak Densus tidak serta merta menyebut buku-buku ajaran Islam yang ditemukan di TKP sebagai buku yang mengajarkan radikalisme.
“Buku jihad dalam artian apa? Kalau buku-buku jihad yang proporsional tentu tidak masalah. Aparat juga jangan alergi dengan istilah jihad. Kecuali jika pandangan jihad itu dimaknakan secara tidak proporsional yang mengarah pada tindakan radikalisme, maka bisa saja dijadikan barang bukti,” ujar Kiai.
Menurut KH Maruf Amin, jihad yang tidak proporsional harus diluruskan, sehingga tidak bertentangan dengan jihad yang benar. Ia menegaskan bahwa yang harus dilakukan bukanlah menghilangkan jihad, tapi meluruskan makna jihad.
MUI sendiri telah mengeluarkan fatwa terkait Terorisme. MUI tegas menyatakan, terorisme itu perbuatan menyimpang, terorisme tidak sama dengan jihad, atau sebaliknya. Karena terorisme dalam Islam hukumnya haram.
MUI juga sudah mendirikan TPT (Tim Penanggulangan Terorisme), dimana KH Ma’ruf Amin sebagai Ketuanya. Tujuan TPT ini didirikan adalah untuk memberikan arahan tentang pemahaman jihad secara benar, juga dalam rangka deradikalisasi.
“Karena MUI tidak punya cukup dana untuk bergerak, lalu kita serahkan pada Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), sehingga MUI tidak perlu bergerak. Tapi kemudian, ketika mulai marak lagi peristiwa pengeboman, seperti yang terjadi di pesantren, lalu ada usulan agar MUI menghidupkan kembali TPT nya. MUI dianggap punya pengaruh dalam meluruskan paham-paham deradikalisasi yang menyimpang.”
Terkait adanya rekayasa yang dilakukan Densus 88 dalam menangani kasus terorisme, pihak MUI lebih memilih untuk berada di tengah. Karena meskipun tidak punya bukti tentang rekayasa Densus 88, MUI tetap memperhatikan tentang isu yang berkembang terkait adanya rekayasa yang dilakukan Dendud 88 dalam menangani “terorisme”. (voaI/arrahmah.com)