Dramatisasi kasus poligami dan nikah sirri melalui opini media massa, membuat kaum muslimah tidak nyaman. Apalagi, penyimpangan pelaksanaan syari’ah poligami masih sering terjadi. Akibatnya, para suami malu berpoligami dan memilih ‘poligami gaya demokrasi’, yaitu selingkuh seksual alias zina. Atau istilah yang lebih fenomenal dan birokratis, gratifikasi seks.
Pada awal desember 2012 lalu, Ustadz Muhammad Thalib diundang oleh majelis ta’lim ibu-ibu di Yogyakarta. Mereka ingin mendapatkan jawaban syar’iyah tentang maraknya poligami dan nikah sirri yang dilakukan para pejabat, termasuk guru PNS penerima dana sertifikasi.
“Kami sering menanyakan soal poligami pada ustadz-ustadz, tapi jawabannya tidak memuaskan, kadang malu-malu atau mencari-cari alasan yang logis tapi tidak memuaskan hati kami,” terang jubir pengajian ibu-ibu itu dalam sesi tanya jawab.
“Kami ingin mendengar jawaban dari ustadz,” katanya lagi.
Jawaban ustadz Thalib nampaknya mencengangkan mereka. Logis, syar’iyah, tapi boleh jadi belum memuaskan para ibu-ibu muslimah itu. Ikutilah dialog menarik ini.
“Apakah menjadi perempuan, kehendak ibu-ibu atau karena kehendak Allah?” tanya M. Thalib
“Karena kehendak Allah,” jawab ibu-ibu itu secara aklamasi.
“Apakah ibu-ibu ridha (menerima dengan ikhlas) menerima kehendak Allah menjadi perempuan?”
“Tentu saja kami ridha dan ikhlas,” jawab mereka lagi.
“Apakah syari’at poligami merupakan kehendak dan aturan yang datang dari Allah atau atas kemauan lelaki atau perempuan?”
“Kehendak dan aturan Allah,” jawab para ibu itu seakan bergumam.
“Apakah ibu-ibu ridha dengan aturan yang datang dari Allah itu?”
Seperti mengalihkan pembicaraan, para ibu-ibu itu malah bertanya. “Mengapa ustadz sendiri tidak berpoligami,” tanya para ibu-ibu itu penasaran.
Lalu ustadz M. Thalib menjawab, dengan membacakan wahyu Ilahi: “Wahai kaum mukmin, jika kalian khawatir tidak dapat berlaku adil dalam mengurus harta anak-anak perempuan yatim yang kalian asuh karena kalian ingin menikahi anak perempuan yatim itu, maka janganlah kalian nikah dengan anak perempuan yatim itu. Akan tetapi nikahlah kalian dengan perempuan lain yang kalian senangi, dua orang, tiga orang atau empat orang. Jika kalian khawatir tidak dapat berlaku adil kepada istri-istri kalian, maka nikahilah seorang perempuan saja, atau nikahlah dengan hamba perempuan yang kalian miliki. Menikah dengan seorang perempuan saja, lebih dapat menyelamatkan kalian dari berbuat tidak adil.” (Qs. An-Nisa’, 4:3).
“Sebagai suami yang tahu diri, saya memilih yang lebih selamat,” kata ustadz.
Apakah kiranya yang terbetik di hati para ibu atas penjelasan ini?
Subhanallah!
(Ukasyah/ISA/arrahmah.com)