Oleh Ustadz Irfan S. Awwas
(Arrahmah.id) –
اَلْحَمْدُ لِلّٰهِ رَبِّ الْعٰلَمِيْنَۙ
Segala ungkapan puji dan syukur hanyalah berhak ditujukan kepada Allah, Pengatur dan Penguasa alam semesta, (QS Al-Fatihah (1) : 2)
الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِۙ
Yang Mahaluas dan kekal belas kasih-Nya kepada orang mukmin, serta Maha Penyayang kepada semua makhluk-Nya, (QS Al-Fatihah (1) : 3)
Shalawat dan salam kepada Muhammad Saw, seorang Nabi dan Rasul yang maksum. Berkah beliau menebar kepada para pengikutnya hingga Hari Kiamat. Ucapan dan perbuatannya menjadi petunjuk amal shalih. Sehingga sebesar apa kadar seorang Muslim mengikuti petunjuk beliau, setinggi itu pula kedekatannya dengan Allah Swt.
Setiapkali seseorang mendekat kepadanya dengan mengikuti sunnahnya, niscaya dia akan mendekat kepada Allah. Setiapkali seseorang menjauh darinya berikut sunnahnya, niscaya dia akan menjauh dari Allah Swt. Oleh karena itu, kita tidak boleh hanya mengambil perbuatan dan ucapannya sesuka hati, tapi juga kita harus patuh dan taat kepadanya.
Setiap muslim wajib menjadikan Nabi sebagai panutan. Shalat Nabi, puasanya, pakaiannya, makannya, tidurnya, bangunnya, bicaranya, candanya, tawanya, dan tangisnya adalah syariah dan ibadah.
Semua pembesar, pemimpin, orang bijak, sastrawan, dan ilmuan, adalah alumnus sekolah dan universitas duniawi, kecuali Nabi Muhammad Saw. Beliau diangkat dengan pertolongan Allah, dan diutus dengan Rahmat-Nya untuk membimbing umat manusia.
Seorang penulis Inggris, Bernard Shaw, berkata dalam bukunya berjudul Muhammad:
“Dunia lebih membutuhkan orang yang berfikir seperti Muhammad. Nabi ini selalu memposisikan agamanya di posisi terhormat dan mulia. Menurut saya, seandainya Muhammad memegang kendali dunia sekarang, niscaya dia pasti akan mampu memecahkan berbagai problem kita, sehingga menjamin kesejahteraan dan kebahagiaan yang diidamkan oleh umat manusia.”
Maka, sungguh tragis ketika Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD menyatakan haram hukumnya mendirikan sebuah negara layaknya pada zaman Nabi Muhammad SAW. “Kita enggak bisa dan dilarang membentuk negara seperti yang dibentuk oleh nabi, enggak boleh.”
Terhadap orang yang melecehkan Islam, seorang filsuf Inggris Thomas Carlyle, berkata dalam bukunya Para Pahlawan.
“Merupakan suatu aib bagi individu berperadaban zaman sekarang, ketika menerima tuduhan sebagian kalangan orang bodoh yang hasad, bahwa agama Islam adalah dusta dan Muhammad bukanlah seorang nabi. Sungguh kita harus memerangi pernyataan tolol dan memalukan seperti ini.”
Sangat tercela, seseorang yang menghalalkan sistem pemerintahan gaya Arestoteles dengan triaspolitikanya. Tapi mengharamkan sistem pemerintahan cara Nabi dengan Syariat Islamnya. Pertanyaannya, anda muslim atau bukan?
Kita belum lupa ucapan Yaqut Qoumas. “Setelah resmi menjadi menag, yang pertama ingin saya lakukan adalah bagaimana menjadikan agama sebagai inspirasi bukan aspirasi,” kata Yaqut di beranda Istana Merdeka, Jakarta, Selasa (22/12/2020).
“Artinya apa? Bahwa agama sebisa mungkin tidak lagi digunakan menjadi alat politik, baik untuk menentang pemerintah, merebut kekuasaan, maupun mungkin untuk tujuan-tujuan yang lain.”
Inspirasi artinya, stimulan, rangsangan. Sedang aspirasi berarti ambisi, keinginan, harapan yang hendak dicapai. Jika agama hanya rangsangan, tapi seseorang tidak bisa mencapai keinginannya sebagai hasil dari rangsangan, maka memaksa timbulnya onani politik.
Apakah Onani politik itu? Yaitu, upaya untuk memuji, merasakan dan menikmati apa yang dikerjakan sendiri oleh para politisi. Mestinya pujian itu datang dari pihak lain namun karena pujian itu tak pernah datang maka dikeluarkanlah pujian itu dari, oleh, dan untuk diri sendiri. Seolah dia berprestasi, cerdas, dan kreatif, padahal hanya jongos. Tidak berprestasi tapi ingin dipuji, itulah onani politik.
Ikhwan Mujahidin Rahimakumullah
Hari ini, Sabtu 27/8/2022, Majelis Mujahidin, memasuki usia 2 dasawarsa, sejak dideklarasikan pada 7 Jumadil Ula 1421 H bertepatan dengan 7 Agustus 2000, kita adakan mudzakarah nasional jelang Kongres Mujahidin ke VI, 2023.
Para pengamat, bila mendengar tgl 7 agustus, langsung menarik benang merah, berarti MM ada hubungannya dengan Proklamasi NII, 12 Syawal 1368 H/ 7 Agustus 1949 M pimpinan SM Kartosoewirjo. Apabila sangka hubungan ini ditolak, nanti dinilai bohong. Tapi bila di-iyakan bilangnya radikal. Dilematis, memang.
Maka, daripada disangka bohong, Majelis Mujahidin memilih berterus terang dengan kebenaran. Karena kita bangga mewarisi cita-cita menegakkan syariat Islam di lembaga negara, dari para mujahid yang istiqamah, terbukti rela dieksekusi tembak mati mempertahankan kebenaran yang diyakininya.
وَاَنَّ هٰذَا صِرَاطِيْ مُسْتَقِيْمًا فَاتَّبِعُوْهُ ۚوَلَا تَتَّبِعُوا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيْلِهٖ ۗذٰلِكُمْ وَصّٰىكُمْ بِهٖ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَ
Wahai manusia, ikutilah syari’at-Ku ini. Janganlah kalian mengikuti tatanan-tatanan hidup yang lain, karena tatanan-tatanan hidup yang lain itu pasti akan menjauhkan kalian dari syari’at-Nya. Demikianlah Tuhan mengajarkan syari’at-Nya kepada kalian supaya kalian taat kepada Allah dan bertauhid.” (QS Al-An’am (6) : 153)
Apabila kita merunut sanad perjuangan penegakan Syariat Islam di Indonesia, tentu tidak bisa dilepaskan dari perjuangan politik HOS Tjokro Aminoto. Beliau adalah tokoh utama yang menggunakan Islam sebagai basis ideologi mengusir penjajah Belanda dari Indonesia. Untuk kepentingan ini, beliau mendirikan Partai Syarikat Islam.
Di masa mudanya, SM Kartosoewirjo adalah Sekretaris Pribadi pimpinan Syarikat Islam, Haji Oemar Said Tjokroaminoto. Setelah itu menjadi vice president SI. Dari mujahid Islam inilah SM Kartosoewirjo mewarisi ideologi Islam, yang kemudian mengembangkannya menjadi sistem kenegaraan. Untuk kepentingan ini, Imam Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo sempat menulis Syarah Kitab Ahkamus Sulthaniyah karya Imam Al Mawardi. Tidak banyak sejarawan yang mengungkapkan derajat keilmuan proklamator NII ini. Ternyata, beliau seorang mualif.
SM Kartosoewirjo adalah pencetus pertama istilah Negara Islam/Darul Islam di Indonesia. Menurut mantan Perdana Menteri RI, Muhammad Natsir, memang benar istilah Negara Islam itu berasal dari Kartosoewirjo. Karena di dalam tahun 1930-an istilah Darul Islam dan atau Negara Islam belum digunakan -walaupun diakui ketika itu Natsir menggunakan istilah “berdasar Islam”- (Lihat Dari Patriot Hingga Pemberontak, Anhar Gonggong, 2004, hal 251)
Ikhwan Mujahidin Rahimakumullah
Sejak awal Majelis Mujahidin merupakan ormas perjuangan dengan manhaj dakwah dan jihad. Bukan sekadar ormas sosial keagamaan. Dan sejak awal pula Majelis Mujahidin dibangun dengan paradigma kebersamaan, yang kita sebut tansiq. Karena tidak mungkin jamaah ini dipimpin oleh seorang tokoh yang sehebat apapun untuk selamanya.
Manhaj Dakwah wal Jihad, dimaksudkan bahwa dakwah adalah upaya menyadarkan masyarakat tentang urgensi menegakan syariat Islam dalam kehidupan pribadi, keluarga, masyarakat dan negara. Khususnya Dakwah Islam untuk publik yang lebih luas, yaitu menegakkan syariat Islam di lembaga negara secara formal dan konstitusional, bersinergi dengan kekuatan politik umat Islam yang ada. Hal ini merupakan tugas mulia dan tanggungjawab agung.
Amir Majelis Mujahidin Al-Ustadz Muhammad Thalib, membuat kaedah: ” Ketika kekuatan perlawanan dengan senjata yang kita miliki belum berfungsi, maka menggunakan senjata lawan, dibolehkan selama tidak bertentangan dengan syariat Islam”.
Analoginya begini. Pada saat syariat Islam belum berfungsi kaffah, maka untuk memenangkan misi penegakan syariat Islam, boleh menggunakan UU dan konstitusi negara yang ada.
Faktanya, eksistensi sebuah gerakan, mutlak diperlukan adanya lembaga kaderisasi, dalam rangka transformasi ideologi. Dan lembaga kaderisasi paling efektif adalah melalui institusi pendidikan. Untuk menjaga eksistensi misi-visi Majelis Mujahidin, diperlukan program prioritas, terbangunnya lembaga pendidikan yang representatif. Dalam kesempatan ini Saya mengajak ikhwan semuanya, mari fastabiqul khaerat, mewujudkan pembangunan Institut Islam An Nabawi yang sedang dirintis, yaitu Ma’had Aly An Nabawi, li dirasyatil Qur’an was Sunnah. Insya Allah!
Merancang Masa Depan Perjuangan
Adapun jihad fi sabilillah bersifat kondisional. Pada saat tidak ada musuh Islam datang menyerang, pilihannya adalah mengefektifkan para mujahid dakwah dengan pembinaan kader dakwah secara masif.
Dalam sejarah perjuangan Nabi Saw, musuh tidak selalu dihadapi dengan jihad frontal dan konfrontatif. Ada kalanya dihindari untuk mengatur strategi. Kita bisa tadabur peristiwa hijrah Nabi Saw ke Madinah. Mengapa tidak menghadapi musuh kafir Quraisy, dengan berani dan gentle, apa pun resiko yang menghalangi? Tapi malah Allah Swt memerintahkan hijrah, untuk melebarkan wilayah dakwah, dan memperluas zona jihad.
وَمَنْ جَاهَدَ فَاِنَّمَا يُجَاهِدُ لِنَفْسِهٖ ۗاِنَّ اللّٰهَ لَغَنِيٌّ عَنِ الْعٰلَمِيْنَ
Siapa saja yang berjuang menegakkan agama Allah dan bersabar melawan hawa nafsunya, maka ia telah berjuang untuk kebaikan dirinya sendiri. Sungguh Allah sama sekali tidak membutuhkan amal kebaikan semua manusia. (QS Al-‘Ankabut (29) : 6)
Syaikh Prof. Dr. Imad Zuhair Hafidz, professor fakultas al-Qur’an Universitas Islam Madinah, menjelaskan maksud ayat ini.
“Barangsiapa yang bersabar dalam menghadapi berbagai cobaan, teguh di atas agama Allah, dan berusaha meninggikan kalimat-Nya, maka dia telah menyiapkan kebaikan yang besar bagi dirinya sendiri dan Allah akan meninggikan derajatnya di akhirat. Dan tidak ada manfaat sedikitpun yang diambil oleh Allah darinya karena Allah Maha Kaya, tidak membutuhkan amal perbuatan seluruh makhluk.”
Dulu, kita mantap dengan paragdigma jihad perang. “Mustahil kemenangan perjuangan dapat diraih tanpa jihad perang.”
Tapi kemudian, seiring perjalanan waktu dan pengalaman di medan jihad, paragdigma jihad ansich berangsur dikoreksi.
Abu Mush’ab As-Suri, intelektual mujahid Al-Qaeda, menceritakan pengalaman dan gelora jihadnya.
“Saya ingat seorang tokoh Jihad Arab di Afghanistan, mengatakan, bahwa kita asyik dengan pertarungan militer, sukses menempa jiwa ikhlas, dan berhasil menghidupkan kecintaan mati syahid. Tetapi, kita lalai memikirkan kekuasaan (politik), sebab kita tak sepenuh hati menggelutinya.
Kita masih memandang bahwa politik adalah barang najis. Hasilnya, kita sukses mengubah arah angin kemenangan dengan pengorbanan yang mahal, hingga menjelang babak akhir saat kemenangan siap dipetik, musuh-musuh melepaskan tembakan “rahmat” kepada kita –demikian kosa kata yan biasa mereka gunakan – untuk menjinakkan kita.
Pertarungan politis mutlak membutuhkan kekuatan militer, karena dalam keyakinan kita, tak ada bahan baku yang cocok untuk membangun kejayaan umat Islam, kecuali dengan darah. Tak bisa diganti dengan yang lain.
Kini kita dihadapkan pada masa depan yang harus kita rancang dengan sebaik mungkin, dan kita raih dengan sempurna. Masa depan yang tidak semata tentang cita-cita untuk mati syahid dan sukses melewati ujian dunia. Tetapi, masa depan yang akan diwariskan pada generasi pasca kita. Tetapi, masa depan yang akan diwariskan generasi penerus kita.
Oleh karena itu, kita wajib mengorbankan segenap jiwa dan raga kita untuk memastikan kelak generasi kita menikmati kekuasaan #al_Quran, bukan kekuasaan #konstitusi_manusia.”
Penilaian Pihak Luar terhadap Majelis Mujahidin
- VOA (Voice of America) Indonesia edisi 13 Juni 2017 pada laman www.voaindonesia.com berjudul: “AS Nyatakan Majelis Mujahidin Indonesia sebagai Teroris Global,” yang bersumber dari laman U.S. Departement of State, bertajuk “State Department Terrorist Designations of Marwan Ibrahim Hussayn Tah al-Azawi and Majelis Mujahidin Indonesia.
Disebutkan ada tiga alasan kenapa Majelis Mujahidin dimasukkan ke dalam kelompok teroris. Pertama, MMI dipimpin Abu Bakar Ba’asyir. Kedua, melakukan penyerangan saat peluncuran buku LGBT Irshad Manji, seorang penulis dari Kanada pada Mei 2012 yang mengakibatkan tiga orang korban masuk Rumah Sakit. Ketiga, mempunyai koneksi dengan kelompok al-Nusrah di Syria yang berafiliasi dengan Al-Qaida.
Majelis Mujahidin menegaskan tiga alasan tersebut adalah fitnah dan tuduhan palsu karena tidak sesuai dengan data dan fakta sebenarnya.
- Peneliti dari Singapore, Prof. Billver Sing mengatakan: “Majelis Mujahidin, adalah ormas militan tapi tidak radikal.”
-
Prof. Hefner dari AS mengatakan: “Majelis Mujahidin siap bergaul, berdebat dengan siapa saja, tapi tidak pernah mau kehilangan apa-apa, karena yakin dengan kebenaran yang diperjuangkannya.”
-
Dimasa kepemimpinan Abu Bakar Ba’asyir, Majelis Mujahidin menonjol dengan heroisme jihadnya. Pasca ABB, keunggulan mulai redup. Kemudian ABB diganti M. Thalib, 2008, Majis Mujahidin tampil dengan narasi intelektual, siap mengajukan soslusi debat bila terjadi perbedaan pendapat.
Suatu ketika ada yang bertanya, bagaimana sikap Majelis Mujahidin terhadap Pancasila. Al-Ustadz Muhammad Thalib menjawabnya menggunakan kaedah: “Apabila ingin memahami Pancasila secara benar dan konstitusional, maka haruslah menggunanakan paradigma para perumusnya”.
Bung Hatta, salah seorang perumus Pancasila, tanpa ragu memaknai sila pertama Pancasila Ketuhanan YME, sebagai konsep tauhid, yang memimpin cita-cita kenegaraan Indonesia.
Kasman Singodimedjo, tokoh yang terlibat lobi politik atas permintaan Sukarno dan Hatta, mengganti kalimat Piagam Jakarta, “Ketuhanan dengan jewajiban menjalankan Syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” menjadi Ketuhanan YME meyakinkan, bahwa maksud Ketuhanan YME adalah Allah Swt. (Hidup Itu Berjuang: 75 Tahun Kasman Singodimedjo, 1982).
Jadi, perjuangan penegakan syariat Islam di lembaga negara, sanadnya bersambung sejak zaman pra kemerdekaan hingga pasca Indonesia merdeka.
Berbeda dengan PDIP yang berambisi memerintah Indonesia dengan konsep nasakom, pancasila 1 juni 1945. Yaitu, merubah pancasila menjadi trisila atau ekasila (gotong royong). Pancasila dengan konsep nasakom inilah yang merehabilitasi pengkhianat PKI sehingga ikut dalam Pemilu 1955. Rupanya, PDIP ingin mengulang gaya politik nasakom dengan menuntut dicabutnya UU XXXV/MPRS/1966 tentang larangan PKI. Padahal dengan alasan itulah, yang menyebabkan sidang MPRS memakzulkan Bung Karno dari jabatan presiden, 1967. []
===============
Sambutan Ketua LT Majelis Mujahidin, dalam Mudzakarah Nasional Jelang Kongres Mujahidin VI, 2023