(Arrahmah.com) – Di bagian akhir dari bulan suci Ramadhan yang penuh berkah ini, sudah selayaknya kita menengok kembali ke belakang dan melakukan introspeksi diri. Introspeksi diri sangat diperlukan untuk menilai kadar kwantitas dan kwalitas apa yang telah kita lakukan selama hari-hari Ramadhan yang telah lewat.
Secara kwantitas, kita perlu melakukan banyak kalkulasi ulang. Misalnya tentang shalat wajib lima waktu secara berjama’ah di masjid; berapa kali kita menjadi ma’mum masbuq? Berapa kali kita luput dari shalat berjama’ah di masjid? Berapa kali kita mendapatkan shaf pertama, shaf kedua, shaf ketiga dan seterusnya?
Lalu tentang shalat sunnah, misalnya; berapa kali kita luput mengerjakan shalat sunnah rawatib qabliyah maupun ba’diyah? Sudah rutinkah shalat Dhuha kita di bulan mulia ini? Berapa kali kita tidak menyelesaikan shalat tarawih dan witir bersama imam di masjid?
Lalu tentang tadarus Al-Qur’an, misalnya; Berapa juz dalam sehari yang bisa kita baca secara rutin? Berapa kali kita khatam membacanya dalam sebulan ini? Berapa ayat yang kita kaji dan pelajari tafsirnya dalam sehari?
Lalu tentang zakat dan infak, misalnya; Berapa nominal zakat mal yang harus kita keluarkan dari hasil bisnis dan usaha kitar? Berapa jumlah zakat fitrah yang harus kita bayarkan untuk diri kita dan anggota keluarga kita? Berapa nominal harta yang telah kita infakkan untuk umat Islam di Gaza, Suriah, dan negeri muslim lainnya yang terluka? Berapa harta yang telah kita berikan kepada fakir miskin, anak yatim, dan orang-orang di sekitar kita yang membutuhkan?
Lalu tentang hak-hak ukhuwah dan kekerabatan, misalnya; Berapa kali kita sempatkan untuk bersilaturahmi kepada tetangga dan kaum kerabat selama sebulan ini? Berapa banyak prosentase waktu, perhatian, dan bantuan yang kita berikan kepada mereka? Berapa kali kita menengok orang sakit dan mengantarkan pemakaman jenazah umat Islam selama sebulan ini?
Sudah tentu shaum Ramadhan harus mendapatkan hak muhasabahnya, misalnya; Berapa kali kita menggunjing, mengadu domba, berbohong, memfitnah, bersumpah palsu atau berkata-kata kotor selama bulan yang mulia ini? Berapa kali mata, telinga, perut, tangan dan kaki kita melakukan hal yang haram di siang dan malam Ramadhan tahun ini? Berapa banyak kita menghambur-hamburkan harta kita untuk menu buka puasa dan sahur yang berlebih-lebihan? Berapa kali kita tidak melakukan shaum tanpa ada udzur yang syar’i?
Renungan itu baru meliputi muhasabah yang berkaitan dengan kwantitas amal perbuatan. Masih ada muhasabah lainnya yang juga penting, bahkan lebih penting, yaitu muhasabah yang berkaitan dengan kwalitas amal perbuatan.
Tentang shalat, misalnya: Sudah mampukah kita menghadirkan kekhusyu’an dalam shalat-shalat kita? Sudah mampukah kita mendapatkan shaf-shaf awal dalam shalat berjama’ah di masjid? Sudah mampukah kita memenuhi syarat-syarat, rukun-rukun, sunnah-sunnah dan adab-adab dalam shalat kita? Sudah mampukah kita menjaga dzikir dan dosa setelah shalat kita?
Jika diurai satu per satu, niscaya daftarnya akan sangat panjang. Namun itulah sebenarnya yang disebut dengan muhasabah. Merenungi, meneliti dan mencari-cari kekurangan dari amal-amal yang telah kita kerjakan, semata-mata demi memperbaiki dan meningkatan amal tersebut pada masa setelahnya, baik secara kwalitas maupun kwantitas.
Muhasabah setelah beramal adalah sifat mulia kaum beriman. Mereka beramal shalih, namun mereka tidak merasa bangga, kagum dan sombong dengan amal shalih mereka. Mereka bahkan dilanda oleh kekhawatiran jika amal yang telah mereka lakukan ditolak oleh Allah Ta’ala. Sebab amal shalih bisa saja ditolak Allah karena secara lahiriah (ilmu fiqih = ittiba’ sunnah) belum memenuhi syarat-syarat, rukun-rukun, sunnah-sunnah dan adab-adabnya; atau karena secara bathiniah (faktor niat dan hati) mengandung unsur kesombongan, riya’, sum’ah, ujub, dan virus-virus perusak amal lainnya.
Allah Ta’ala berfirman:
إِنَّ الَّذِينَ هُمْ مِنْ خَشْيَةِ رَبِّهِمْ مُشْفِقُونَ (57) وَالَّذِينَ هُمْ بِآيَاتِ رَبِّهِمْ يُؤْمِنُونَ (58) وَالَّذِينَ هُمْ بِرَبِّهِمْ لا يُشْرِكُونَ (59)وَالَّذِينَ يُؤْتُونَ مَا آتَوْا وَقُلُوبُهُمْ وَجِلَةٌ أَنَّهُمْ إِلَى رَبِّهِمْ رَاجِعُونَ (60) أُولَئِكَ يُسَارِعُونَ فِي الْخَيْرَاتِ وَهُمْ لَهَا سَابِقُونَ (61)
Sesungguhnya orang-orang yang bersikap hati-hati karena rasa takut mereka kepada (azab dan murka) Rabb mereka.
Dan orang-orang yang beriman dengan ayat-ayat Rabb mereka.
Dan orang-orang yang tidak mempersekutukan dengan Rabb mereka (sesuatu apapun).
Dan orang-orang yang menginfakkan apa yang telah mereka infakkan, dengan hati yang takut, (karena mereka tahu bahwa) sesungguhnya mereka akan kembali kepada Rabb mereka.
Mereka itu bersegera untuk mendapat kebaikan-kebaikan, dan merekalah orang-orang yang segera memperolehnya.(QS. Al-Mu’minun [23]: 57-61)
Makna ayat yang mulia ini telah dijelaskan sendiri oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam dalam sebuah hadits:
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ{ الَّذِينَ يُؤْتُونَ مَا أَتَوْا وَقُلُوبُهُمْ وَجِلَةٌ }أَهُوَ الرَّجُلُ يَزْنِي وَيَسْرِقُ وَيَشْرَبُ الْخَمْرَ قَالَ لَا يَا بِنْتَ أَبِي بَكْرٍ أَوْ لَا يَا بِنْتَ الصِّدِّيقِ وَلَكِنَّهُ الرَّجُلُ يَصُومُ وَيُصَلِّي وَيَتَصَدَّقُ وَهُوَ يَخَافُ أَنْ لَا يُقْبَلَ مِنْهُ
Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata: Saya bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam, “Wahai Rasulullah, firman Allah yang berbunyi ‘Dan orang-orang yang menginfakkan apa yang telah mereka infakkan, dengan hati yang takut’, apakah maksudnya adalah seseorang yang berzina, mencuri dan meminum khamr?”
Maka beliau menjawab: “Tidak wahai putri Abu Bakar ~atau tidak wahai putri Ash-Shiddiq~, tapi maksud ayat itu adalah seseorang yang mengerjakan shaum, melaksanakan shalat dan mengeluarkan sedekah, namun ia khawatir jika amal kebaikannya tersebut tidak diterima Allah.” (HR. Tirmidzi no. 3175, Ibnu Majah no. 4198, Ahmad no. 25263, 25705, Abu Ya’la no. 4917 dan Al-Hakim, 2/393)
Inilah buah dari ilmu dan muhasabah. Seorang mukmin senantiasa beramal shalih, disertai perasaan harap dan cemas. Ia berharap Allah menerima amalnya dan memberinya balasan yang terbaik. Namun ia juga merasa khawatir jika Allah tidak menerima amalnya, karena adanya kekurangan dan ketidak sempurnaan dalam syarat, rukun, sunnah, adab maupun keikhlasan dari amal yang ia kerjakan.
Seorang ulama tabi’in, imam Hasan Al-Bashri, berkata: “Seorang mukmin itu memadukan antara amal kebaikan dan rasa khawatir [amalnya tidak diterima Allah], adapun orang munafik justru memadukan antara amal keburukan dan rasa aman [dari kemurkanaan dan adzab Allah].” (Ibnu Jarir Ath-Thabari, Jami’ Al-Bayan fi Ta’wil Ayyi Al-Qur’an, 17/68)
Semoga Allah Ta’ala memasukkan kita dengan rahmat-Nya ke dalam golongan orang-orang mukmin yang memadukan antara amal kebaikan, muhasabah dan rasa khawatir sebagaimana disebutkan dalam ayat dan hadits yang mulia di atas. Wallahu a’lam bish-shawab.
(muhib al majdi/arrahmah.com)