JAKARTA (Arrahmah.com) – Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah bersama sejumlah ormas Islam menyurati Ketua DPR RI meminta pengesahan RUU Pesantren ditunda.
Surat yang ditandatangani Ketua PP Muhammadiyah Busyro Muqoddas itu melampirkan nama ormas Islam yang minta penundaan RUU Pesantren. Antara lain, Muhammadiyah, Aisyiyah, Al Wasliyah, Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti), Persatuan Islam (Persis).
Kemudian Dewan Dakwah Indonesia (DDI), Nahdlatul Wathan (NW), Mathlaul Anwar, Badan Kerjasama Pondok Pesantren Indonesia (BKsPPI) dan Pondok Pesantren Darunnajah.
“Muhammadiyah berkeberatan dengan definisi pesantren yang ada dalam UU. Selain itu ada banyak pasal lain yang harus dirubah sebagai turunan dari definisi pesantren tersebut,” kata Sekum PP Muhammadiyah, Abdul Mu’ti, kepada wartawan, Kamis (19/9/2019).
Dalam suratnya disebutkan, Muhammadiyah dan ormas Islam lainnya telah mengkaji secara mendalam RUU Pesantren dengan memperlihatkan aspek filosofis, yuridis, sosiologis, dan perkembangan serta pertumbuhan pesantren.
Atas dasar itu, mereka meminta Ketua DPR RI menunda pengesahan RUU Pesantren menjadi UU dengan dua alasan.
Pertama, belum mengakomodir aspirasi Ormas Islam serta dinamika pertumbuhan dan perkembangan pesantren.
Kedua, materi RUU Pesantren diusulkan untuk dimasukan dalam revisi Undang-Undang No 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Beberapa pendapat Ormas Islam yang meminta penundaan RUU Pesantren, diantaranya menyatakan bahwa nomenklatur dan substansi yang diatur dalam RUU Pesantren tidak mencerminkan dinamika pertumbuhan dan perkembangan pesantren saat ini dengan tuntutan perkembangan zaman, ilmu pengetahuan dan teknologi.
Sealin itu, mereka menilai, RUU Pesantren ini apabila disahkan menjadi UU berpotensi memunculkan tuntutan peraturan perudangan yang sejenis dari pemeluk agama lain selain Islam, dan apabila tidak dipenuhi dapat menimbulkan pertentangan dan perpecahan dalam kehidupan masyarakat yang dapat berujung pada disintegrasi bangsa.
Karenanya, mereka meminta RUU Pesantren perlu dikaji secara menyeluruh untuk dapat dilakukan pembahasan dan menyusun ulang naskah akademik, yang salah satunya mengkaji pemisahan antara pengaturan pendidikan keagamaan Islam dengan pendidikan keagamaan Kristen, Katolik, Hindu, Buddha dan Konghucu.
Ada beberapa usulan perbaikan dan penyempurnaan RUU Pesantren sebelumnya di undangan, antara lain Pasal 1 angka 1,2,4,5,7; Pasal 3 huruf a; Pasal 5 ayat 2 huruf e; Pasal 5 ayat 3 huruf b; Pasal 7 ayat 2; Pasal 10 ayat 1, ayat 2; Pasal 14; dan Pasal 15.
Menurut Muhammadiyah, ketentuan yang diatur RUU Pesantren hanya mengakomodir dan mengatur pesantren yang berbasis kitab kuning atau dirasah islamiyah dengan pola pendidikan muallimin, dan belum mengakomodir keberagaman pesantren sesuai dengan tuntutan pertumbuhan dan perkembangan pesantren.
“Pesantren dan Ma’had Aly sebagaimana diatur dalam RUU Pesantren ini belum mengakomodasi keberadaan pesantren dan Ma’had Aly yang dikembangkan Muhammadiyah maupun ormas Islam atau lembaga/yayasan lain, yang dalam pengembangan pesantren terintegrasi baik pendidikan agama dan umum, serta bentuk pesantren yang dikembangkan oleh lembaga pendidikan formal,” tulis surat Muhammadiyah bersama Ormas Islam.
Untuk itu, Muhammadiyah dkk memandang pengertian pesantren perlu ditegaskan, yakni pesantren adalah pendidikan yang diselenggarakan oleh dan berada di lingkungan pesantren, dengan mengembangkan kurikulum sesuai kekhasan pesantren dengan berbasis kitab kuning, dirasah islamiyah dengan pola pendidikan mualimin, atau pola lainnya yaitu pesantren yang mengembangkan kurikulum berbasis dirasah islamiyah yang terintegrasi dengan pendidikan umum (sekolah atau madrasah).
“Berdasarkan hal-hal tersebut pada akhirnya kami berpendapat DPR RI dan Presiden RI perlu menunda pembahasan dan pengesahan RUU Pesantren,” pungkasnya.
Diketahui, Komisi VIII DPR RI dan pemerintah yang diwakili Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin menyepakati Rancangan Undang-Undang (RUU) Pesantren untuk dibawa dalam pengambilan keputusan tingkat II di rapat paripurna untuk disahkan menjadi UU.
Setelah itu seluruh anggota Komisi VIII DPR menyatakan setuju RUU Pesantren dibawa dalam pembicaraan tingkat II di Rapat Paripurna DPR.
(ameera/arrahmah.com)