JAKARTA (Arrahmah.com) – Muhammadiyah menegaskan hukum positif Indonesia tidak mewadahi dan tak mengakui perkawinan beda agama.
Hal ini diungkapkan Kepala Divisi Hukum Muhammadiyah, Saiful Bahri, saat memberi keterangan sebagai Pihak Terkait dalam sidang pengujian UU Nomor 1/1974 tentang Perkawinan di Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Rabu (22/10/2014).
“Perkawinan tersebut (beda agama) tidak bisa dilakukan dan didaftarkan secara Islam, yaitu KUA,” kata Saiful Bahri di depan majelis haik MK yang diketuai Hamdan Zoelva.
Dia juga menegaskan bahwa Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan tidak mencerminkan adanya pelanggaran hak azasi manusia dan hak konstitusional warga negara yang didalilkan oleh lima Mahasiswa dan alumnus Fakultas Hukum Universitas Indonesia sebagai pemohon.
Saiful Bahri juga mengatakan bahwa Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan tidak bertentangan dengan UUD 1945.
“Apabila perkawinan tidak berdasarkan agama dan kepercayaannya itu, maka hal tersebut bertentangan dengan alinea keempat UUD 1945 yang menyatakan” suatu susunan negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasarkan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa…,” katanya.
Pengujian UU perkawinan ini digugat oleh sejumlah mahasiswa dan alumnus Fakultas Hukum Universitas Indonesia, yakni Damian Agata Yuvens, Rangga Sujud Widigda, Varida Megawati Simarmata, Anbar Jayadi dan Luthfi Sahputra.
Mereka menilai pasal 2 ayat 1 UU Perkawinan yang berbunyi: “Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaan itu” telah menyebabkan ketidakpastian hukum bagi yang akan melakukan perkawinan beda agama di Indonesia.
Para Pemohon mengatakan ketentuan tersebut berimplikasi tidak sahnya perkawinan di luar hukum agama, sehingga mengandung unsur “pemaksaan” warga negara untuk mematuhi agama dan kepercayaannya di bidang perkawinan.
Pemohon beralasan beberapa kasus kawin beda agama menimbulkan ekses penyelundupan hukum.
Pemohon mengungkapkan pasangan kawin beda agama ini kerap menyiasati berbagai cara agar perkawinan mereka sah di mata hukum, misalnya perkawinan di luar negeri, secara adat, atau pindah agama sesaat.
Untuk itu mereka meminta MK membuat tafsir agar perkawinan beda agama menjadi legal dengan cara mengesampingkan syarat agama dan kepercayaan dalam pernikahan. (azm/antara/arrahmah.com)