MEDAN (Arrahmah.com) – Ketua PP Muhammadiyah Haedar Nasir mengatakan bahwa pihaknya menghormati keputusan PN Medan. Menurutnya, kasus yang membelit Meiliana di luar kewenangan Muhammadiyah.
“Kita menghormati setiap keputusan pengadilan. Bagi yang tidak puas naik banding,” ujarnya di Gedung Pusat Dakwah Muhammadiyah, Jl Menteng Raya, Jakarta Pusat, Kamis (23/8), lansir Merdeka.com.
Haedar Nasir mengungkapkan, kasus yang membelit Meiliana menjadi pembelajaran berharga bagi seluruh umat di Tanah Air. Setiap umat harus menjunjung tinggi toleransi dan menjaga perasaan umat lain.
“Misalkan di masjid tahu bagaimana menjaga perasaan orang yang beda agama, yang di gereja juga begitu. Warga juga jangan terlalu sensitif juga. Kadang masyarakat kurang proporsional juga, kalau ada hiburan kadang tanpa izin gede-gede suaranya engga terganggu tetapi ada suara azan dikit kencang terganggu,” tandasnya.
Dia juga menegaskan bahwa mengumandangkan azan penting bagi umat Islam. Azan sebagai pengingat bahwa waktu salat telah tiba.
“Azan harus terdengar sehingga yang dengar tahu dipanggil azan. Kalau (azan) di dalam hati engga kedengeran jemaah. Soal seberapa volume suara itu tentu kan punya kadar masing-masing, bukan soal besar kecil suara azan, begitu juga nanti suara di gereja,” terangnya.
Haedar Nasir menilai, rasa toleransi dan saling menghargai mulai menipis di lingkungan masyarakat. Hal itu terlihat dari kasus yang menimpa Meiliana.
“Ini ada rasa yang hilang antar warga masyarakat. Ini yang mesti kita bina. Yang satu saking semangatnya azan kenceng, yang satu terlalu sensitif juga. Padahal ketika dengar lagu dangdut di samping dia engga terganggu. Ada sesuatu yang perlu didialogkan,” pungkas Haedar Nasir.
Meiliana adalah wanita etnis Tionghoa yang beragama Buddha. Dia menjalani persidangan di Pengadilan Negeri Medan karena mengeluhkan pengeras suara azan yang dianggapnya terlalu keras.
Kasus yang menjerat Meiliana sebenarnya telah terjadi pada 2016. Saat itu, dia meminta kepada pengurus Masjid di sekitar tempat tinggalnya untuk mengecilkan volume pengeras suara. Dia mengaku terganggu dengan pengeras suara masjid.
Kasus ini memasuki ranah hukum setelah jaksa menetapkan Meiliana sebagai tersangka penistaan agama pada 30 Mei 2018 dan mendakwanya dengan Pasal 156 dan 156a KUHP tentang penistaan agama.
Pada akhir persidangan, majelis hakim sependapat dengan dakwaan jaksa dan menjatuhi hukuman 1 tahun 6 bulan penjara kepada Meiliana sesuai tuntutan jaksa.
(ameera/arrahmah.com)