(Arrahmah.id) – “Dan Kami tidak mengutus engkau (Muhammad) melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi seluruh alam.” [TQS Al Anbiya: 107]
Saat itu 570M, lima tahun setelah kematian Kaisar Romawi Justinian. Rombongan pasukan yang terdiri dari tentara, kuda, dan gajah terbaik tengah berbaris menuju Makkah, berniat untuk menghancurkan kota itu. Pasukan ini adalah pasukan panglima perang Abysinnia Abrahah, yang setelah menaklukkan Yaman kini bergerak maju menuju kota suci Makkah.
Salah satu tokoh Makkah, ‘Abdul-Muththalib, memerintahkan semua wanita dan anak-anak untuk pergi ke gunung dan berlindung di sana sementara para pria pergi menghadapi pasukan Abrahah. Namun, orang-orang Makkah bukanlah tandingan para tombak maut Abysinnia yang dapat dengan mudah menumpas perlawanan mereka di perbatasan kota.
Kemenangan tampaknya sudah dekat bagi Abrahah. Namun ketika tentara bergerak maju ke pinggiran kota, gajah yang menjadi pemimpin yang berada pada barisan terdepan, tiba-tiba berhenti dan menolak untuk melangkah lebih jauh ke arah Makkah. Hewan tersebut bergeming, tanpa ada pergerakan sama sekali, akan tetapi ketika pasukan memutar ke arah berlawanan, arah di mana mereka berasal hewan tersebut dengan sukarela bangkit dan bersedia untuk kembali.
Tiba-tiba dari cakrawala yang jauh, sekawanan besar burung terlihat. Dengan memburu bergerak menuju ke tempat di mana rombongan Abrahah berada. Di paruh dan cakarnya, burung-burung itu membawa batu. Seperti kilat mereka lalu turun ke pasukan Abrahah yang bingung dan melontari mereka dengan batu. Batu-batu mulai memotong dan mengoyak tubuh para pasukan layaknya ulat memakan daun. Rombongan itu tak berdaya. Tentara tiran berhasil dihinakan.
Peristiwa ini lalu dikenang oleh orang Arab sebagai Tahun Gajah dan memiliki arti penting dalam perimbangan kekuatan di Arab. Tapi bukanlah peristiwa serangan pasukan Abrahah yang dimaksud melainkan peristiwa penting yang terjadi 50 hari kemudian di tahun yang sama yang tidak hanya untuk dikenang, tetapi juga akan mengubah jalannya sejarah selamanya. Pada tanggal 12 Rabi’ al-Awwal, di rumah ‘Abdul-Muththalib seorang anak lahir. Ia adalah anak dari Aminah, istri dari ‘Abdullah, putra dari ‘Abdul-Muththalib. Ia adalah anak yang akan mengubah gaya hidup semua orang di sekitarnya. Ia adalah anak yang akan menyatukan semua orang di bawah satu syariat. Ia adalah anak yang akan mengalahkan berbagai kerajaan besar di dunia.
Dialah Muhammad, utusan Allah yang terakhir bagi umat manusia.
Nama Muhammad diberikan oleh kakeknya ‘Abdul-Muththalib. Nama itu adalah salah satu yang dikenal di kalangan orang Arab pada waktu itu tetapi tidak umum. Arti literal dari Muhammad adalah ‘yang terpuji’, dan diriwayatkan bahwa ketika ditanya mengapa ‘Abdul-Muththalib menamai cucunya demikian, dia menjawab:
“Saya melakukannya dengan keinginan agar cucu saya dipuji oleh Allah di langit dan oleh manusia di bumi.” [Sejarah Islam dan Muslim, Iqbal Mohammed, vol. 1, hal. 138]
Sepertinya keinginan ‘Abdul-Muththalib menjadi kenyataan, nama Muhammad shalallahu alayhi wa sallam, diucapkan dan dipuji lebih banyak daripada nama siapa pun dalam sejarah. Bahkan bukan hanya manusia yang memuji manusia yang luar biasa ini, tetapi juga Pencipta Langit dan Bumi, Allah, dan penghuni langit, para malaikat:
Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya bersalawat untuk Nabi. Wahai orang-orang yang beriman! Bershalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam dengan penuh penghormatan kepadanya. [TQS Al Ahzab: 56]
Cucu ‘Abdul-Muththalib telah ditakdirkan oleh Allah SWT untuk menjadi manusia terhebat yang pernah ada di muka bumi.
Kehidupan awal Muhammad shalallahu alayhi wasallam sebelum kenabiannya, tidak diketahui kebanyakan orang. Yang paling menonjol adalah keindahan akhlaknya yang luhur. Masa di mana Muhammad shalallahu alayhi wasallam hidup pada saat itu adalah masa penyembahan berhala, masa di mana wanita dan budak tidak memiliki hak apa pun, masa di mana pria akan saling menipu untuk sekedar beberapa dirham.
Namun, Muhammad shalallahu alayhi wasallam tidak seperti orang-orang di sekitarnya. Dia tidak dikenal suka bersumpah atau berbicara dengan cara yang keji, dia juga tidak dikenal suka minum atau berjudi. Kejujurannya melampaui semua yang lain dan dia dikenal dengan gelar al-Amin (yang dapat dipercaya). Sebenarnya kualitas kejujuran inilah yang menarik begitu banyak orang pada risalah mulia yang dibawanya.
Sifat orang-orang Arab pada masa Muhammad shalallahu alayhi wasallam sangat biadab, mereka akan memperebutkan hal-hal terkecil, misalnya memperebutkan ladang pengembalaan unta. Ini sering mengakibatkan perang yang berlangsung selama bertahun-tahun dan merenggut ribuan nyawa.
Pada 605M Ka’bah secara tidak sengaja terbakar dan program rekonstruksi besar-besaran harus dimulai. Banyak orang yang terlibat dalam pembangunan kembali itu. Namun setelah selesai, isu penggantian Hajar Aswad di tempat asalnya, pojok tenggara Ka’bah, muncul. Setiap suku dan klan besar menginginkan kehormatan menempatkan batu hitam di tempat yang semestinya. Perang saudara membayangi semenanjung Arab. Kemudian disarankan oleh Abu Ummayah al-Mughirah, salah satu tetua Makkah, bahwa cara untuk menyelesaikan perselisihan ini adalah membiarkan orang pertama yang datang melalui gerbang masjid keesokan paginya, memutuskan nasib atas masalah tersebut.
Keesokan harinya, ternyata orang pertama yang memasuki masjid adalah Muhammad. Saat melihatnya, beberapa orang Arab berseru dengan gembira, “Inilah orang yang dapat dipercaya, kami akan menyetujui keputusannya – dia adalah Muhammad”. Muhammad shalallahu alayhi wasallam lalu meminta selembar kain untuk dibawa kepadanya dan diletakkan batu hitam di tengahnya. Dia kemudian meminta sesepuh dari masing-masing suku besar untuk mengangkat kain dari setiap sudut. Para tetua melakukan apa yang diperintahkan dan membawa batu hitam itu ke sudut tenggara. Muhammad shalallahu alayhi wa sallam kemudian mengambil batu itu dan meletakkannya di pojok. Dan begitulah Muhammad SAW, yang dengan kebijaksanaan dan kejujurannya menyelamatkan bangsa Arab dari perang saudara di antara mereka.
Kehidupan awal Muhammad cukup menyedihkan, beliau tidak pernah melihat ayahnya ‘Abdullah yang meninggal sebelum beliau lahir. Pada usia enam tahun ibunya, Aminah meninggal dunia dan dia dititipkan ke dalam asuhan kakek tercintanya ‘Abdul-Muththalib. Namun, pada usia dua belas tahun, ‘Abdul-Muththalib juga meninggal dan Abu Thalib, paman Muhammad shalallahu alayhi wasallam mengambil pengasuhannya. Dengan kesusahan yang begitu dini dalam kehidupannya, orang akan membayangkan bahwa anak laki-laki ini akan tumbuh menjadi pemberontak dan pembuat masalah, seperti yang terjadi di banyak masyarakat kita saat ini. Tapi ini jelas tidak terjadi.
Abu Thalib lah yang kemudian mengasuh dan membesarkannya. Abu Thalib adalah seorang pedagang dan pengusaha dan dia kadang-kadang membawa serta keponakannya dalam kafilah dagangnya. Perjalanan perdagangan inilah yang akhirnya membentuk ikatan antara Muhammad dan calon istrinya Khadijah radhiyallahu ‘anha. Khadijah adalah seorang janda kaya raya dari Makkah yang terkenal akan kesantunan dan akhlaknya yang mulia. Muhammad shalallahu alayhi wasallam bekerja untuk Khadijah sebagai manajer kafilah dagangnya. Kejujuran dan efisiensinyalah yang menyebabkan Khadijah melamarnya, dan segera setelah Muhammad kembali dari perjalanan dagang ke Suriah, mereka menikah.
Pada 610M Nabi Muhammad shalallahu alayhi wasallam menerima wahyu pertama. Adalah kebiasaan beliau sering menyendiri ke gua Hira untuk merenung dan berdoa kepada Allah. Suatu malam di bulan Ramadhan ketika beliau sedang menyendiri, seorang malaikat muncul di hadapannya. Ia adalah malaikat Jibril, malaikat yang sama yang telah menurunkan wahyu kepada nabi-nabi Allah sebelumnya seperti Isa dan Musa. Dengan suara gemuruh Jibril menyuruh beliau membaca, “Baca!”, “Saya tidak bisa membaca”, jawab Muhammad dengan jujur. Malaikat itu mendekapnya begitu keras hingga Muhammad mengira dia akan mati lemas. “Baca!”, perintah malaikat itu lagi. Jawaban Muhammad tetap sama. Jibril mendekapnya lagi dan lagi, setiap kali lebih keras dari sebelumnya, dan Muhammad menjawab hal yang sama dan selalu terbersit bahwa beliau akan mati lemas. Malaikat kemudian melepaskannya dan mengucapkan kata-kata yang akan diingat sebagai kata-kata pertama dari wahyu terakhir yang diturunkan kepada umat manusia:
“Bacalah! Dengan nama-Mu Tuhan Yang Menciptakan; Menciptakan manusia dari segumpal darah yang menempel. Bacalah! Tuhanmu Maha Pemurah, Yang mengajarkan dengan pena. Mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya.” [TQS Al Alaq:1-5]
Ini adalah wahyu pertama dari Allah kepada Muhammad shalallahu alayhi wasallam. Firman Allah SWT yang dengannya umat manusia harus hidup dan beribadah sesuai dengan apa yang dikabarkannya. Dan Muhammad, putra ‘Abdullah yang dipilih untuk menyebarkan kabar baik ini. (zarahamala/arrahmah.id)
Bersambung