YOGYAKARTA (Arrahmah.com) – Majelis Mujahidin melaksanakan Mudzakarah Nasional untuk menyongsong Kongres Mujahidin IV, digelar pada 28 – 29 R. Awwal 1434/9-10 Februari 2013 M di Markas Pusat Majelis Mujahidin Yogyakarta.
Ada yang mengharu biru para peserta mudzkarah yang datang dari berbagai perwakilan di Indonesia. Kehadiran Amir Mujahidin Al-Ustadz Muhammad Thalib yang sekaligus mutarjim Al-Qur’an Tarjamah Tafsiriyah menyampaikan taujih pembukaan Mudzakarah menjadi tonggak dan bukti komitmen mujahidin menghadapi berbagai makar kaum kafir yang menghendaki barisan kaum mukmin berpecah belah.
Pasalnya beberapa waktu lalu tersiar kabar ‘indefinitive’ bahwa telah terjadi perpecahan internal Majelis Mujahidin antara Amir dan Lajnah Tanfidziyah. Memang kaum munafik terus menerus akan mengacau urusan kaum mukmin sampai Allah Swt memberi kemenangan kepada kaum mukmin menjadi ‘hakim’ yang memiliki otoritas mengatur mereka atau mereka diadzab oleh Allah.
Ketika kaum mukmin dalam keadaan lemah atau sebagai ‘mahkumun ‘alaih,’ menjadi obyek penderita dari kekuasaan jahiliyah kaum kafir. Kaum mukmin senantiasa menghadapi intimidasi dan distruksi struktural dari kelompok munafik yang melakukan kasak kusuk diantara kaum mukmin.
Ada yang melakukan intervensi dengan harapan bisa memperlemah barisan. Atau melakukan distorsi informasi dan perusakan mental para mujahid agar barisan mujahidin ketakutan sehingga timbul chaos (kacau-balau). Sebagaimana disitir Allah ‘Azza wa Jalla dalam Qs. At-Taubah 9:48 yang artinya:
“Wahai kaum mukmin, kaum munafik sejak dahulu selalu menginginkan kalian dilanda ketakutan dan kekacauan. Mereka ingin mengacau-balaukan segala urusan kalian sampai datangnya kemenangan kepada kalian dan turunnya adzab Allah kepada mereka yang tidak mereka inginkan”.
Mudzakarah yang mengambil tema “Keunggulan Militansi Islam dalam Membangun Negara Indonesia”, Al-Ustadz Muhammad Thalib mengingatkan paradigma berpikir orang munafik pertama, selalu meremehkan kaum mukmin karena dianggap tidak memiliki ‘keunggulan duniawi’ sehingga tidak pantas memimpin atau memiliki strata kehidupan seperti mereka.
Sebagaimana karakter Bani Israel dalam Qs. 2:247: “Nabi Bani Israel berkata kepada mereka: “Allah telah mengutus Thalut kepada kalian untuk menjadi raja kalian.” Bani Israel menjawab: “Bagaimana Thalut dapat menjadi raja bagi kami, padahal kami lebih berhak atas jabatan raja itu daripada dia, karena Tahlut tidak mempunyai kekayaan apa-apa.” Nabi Bani Israel berkata: “Sungguh Allah telah memilih Thalut untuk menjadi raja bagi kalian. Allah memberinya keluasan ilmu dan kekuatan tubuh. Allah memberikan kekuasaan-Nya kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya. Allah Mahaluas rahmat-Nya lagi Maha Mengetahui kelemahan kalian.“
Kedua, orang munafik gemar berteman dan bermitra dengan orang-orang kafir untuk meraih kesuksesan duniawi daripada berteman dengan orang-orang mukmin. Sebagaimana firman Allah Swt yang artinya: “Orang-orang munafik yaitu orang-orang yang menjadikan orang-orang kafir sebagai teman kepercayaan melebihi kepercayaannya kepada orang-orang-orang mukmin. Apakah orang-orang munafik ingin mendapat kejayaan bersama orang-orang kafir?. Padahal semua kejayaan hanyalah milik Allah.”
Majelis Mujahidin harus memiliki paradigma baru menghadapi kelompok munafik ini, kata Ustadz M. Thalib yaitu paradigma Qur’an :
“Wahai Muhammad, janganlah kamu terpesona oleh harta dan anak-anak kaum munafik. Allah menimpakan penderitaan kepada mereka berupa rasa cemas dan fatamorgana dalam kehidupan dunia ini. Mereka lebih mencintai harta dan anak-anak mereka. Ketenangan hati mereka di dunia dan di akherat hilang, karena mereka kafir kepada Allah dan Rasul-Nya. Wahai kaum mukmin, kaum munafik bersumpah atas nama Allah bahwa mereka adalah golongan kalian, padahal sebenarnya mereka bukanlah golongan kalian. Mereka itu adalah kaum yang dipenuhi rasa takut.” (Qs. At-Taubah 9:55-56).
Menjadi mukmin berarti menjadi orang yang memiliki integritas kepercayaan diri dan tidak minder, tidak mudah terpesona dengan bujuk rayu orang munafik yang menipu bagai fatamorgana dunia yang justru berakibat fatal menimbulkan kecemasan dan penderitaan. Bukan kesuksesan dan kebahagiaan.
Semoga Kongres Mujahidin IV “Seabad Perjuangan Indonesia Bersyari’ah” di Masjid Adz-Dzikra Sentul, Bogor pada 16-18 Syawwal 1434 H/23-25 Agustus 2013, dapat menegaskan komitmen rakyat, ulama dan pemimpin negara untuk membangun Indonesia menuju Baldatun Thayyibatu Wa Rabbun Ghafur dapat terlaksana dengan baik. (bilal/arrahmah.com)