KAIRO (Arrahmah.com) – Presiden Mesir yang digulingkan Hosni Mubarak pada Rabu (26/12/2018) meminta “izin” Presiden Abdel Fattah El-Sisi untuk mengungkapkan informasi sensitif dalam persidangan ulang pemimpin yang digulingkan Muhammad Morsi.
Digulingkan pada 2011 setelah protes massa terhadap kekuasaannya yang bertahan hampir 30 tahun, Mubarak mengambil kursi saksi di pengadilan Kairo untuk memberikan kesaksian tentang pelarian diri dari penjara yang diklaim didalangi oleh Morsi dan anggota kelompok Ikhwanul Muslimin lainnya selama pemberontakan.
Mubarak yang berusia 90 tahun, yang kekuasaannya hampir tiga dasawarsa diakhiri oleh pemberontakan rakyat pada 2011, memasuki ruang sidang dengan tongkat bersama dua putranya, Alaa dan Gamal. Dia mengenakan jas biru tua dan dasi yang serasi. Dia tampak sehat secara fisik dan mental meskipun suaranya terbata-bata.
Jaksa mengatakan mereka melarikan diri dari penjara dengan bantuan kelompok Hamas Palestina dan para tim operasi dari gerakan Hizbullah Libanon.
Dalam kesaksian tersebut, Mubarak menolak untuk menjawab semua pertanyaan hakim sampai presiden memberinya “izin” untuk mengungkapkan informasi “sensitif” terkait dengan keamanan nasional.
“Jika saya berbicara, saya akan membeberkan banyak hal yang seharusnya tidak saya ungkapkan tanpa permisi,” ujarnya.
Mantan presiden tersebut mengakui bahwa pada saat itu, ia telah menerima informasi dari kepala intelijennya tentang infiltrasi “militan” dari Jalur Gaza ke timur negara itu selama pemberontakan.
“Jenderal Omar Suleiman memberi tahu saya pada 29 Januari 2011 bahwa 800 gerilyawan bersenjata menyusup ke perbatasan,” katanya, seraya menambahkan bahwa gerilyawan dari kelompok Hamas, dibantu oleh penduduk Sinai Utara, menggunakan terowongan bawah tanah untuk menyeberang.
Hakim juga mengajukan pertanyaan Mubarak tentang keterlibatan operasi Hizbullah.
Di perbatasan dengan Gaza, Sinai Utara adalah pusat dari pemberontakan ekstremis yang meletus menyusul pemecatan militer Morsi pada 2013.
Mantan pemimpin yang dipenjara ini terlibat dalam empat persidangan panjang dalam berbagai kasus, termasuk tuduhan merusak keamanan nasional dengan berkonspirasi dengan kelompok-kelompok asing dan mengatur pelarian dari penjara.
Media mengungkapkan Mesir dalam beberapa tahun terakhir telah membangun zona penyangga di sepanjang perbatasan untuk membendung aliran “militan”.
Mubarak mengatakan gerilyawan telah menyerang kantor polisi, membunuh petugas keamanan dan membantu membuat Morsi dan anggota senior Ikhwan lainnya dari penahanan.
Kasus hari Rabu (26/12) berakar pada pelarian lebih dari 20.000 tahanan tahun 2011 dari penjara Mesir – termasuk Morsi dan anggota Ikhwanul Muslimin lainnya – selama hari-hari awal pemberontakan 18 hari terhadap Mubarak.
Morsi dan para pemimpin Ikhwan lainnya melarikan diri dua hari setelah mereka ditahan ketika pasukan keamanan Mubarak mencoba menghentikan protes yang direncanakan.
Pada saat itu, pihak berwenang juga memutus akses Internet dan jaringan telepon seluler, melumpuhkan komunikasi di antara para pengunjuk rasa dan dengan dunia luar.
Pada Juni 2015, Pengadilan Kriminal Kairo mengeluarkan hukuman mati dan hukuman penjara seumur hidup terhadap Morsi dan tokoh-tokoh penting Ikhwan lainnya. Namun, pada November 2016, Pengadilan Kasasi, jalan terakhir Mesir untuk naik banding dalam kasus pidana, membatalkan hukuman dan memerintahkan persidangan ulang terhadap terdakwa.
Mubarak dibebaskan tahun lalu, mengakhiri hampir enam tahun proses hukum terhadapnya. Dia dibebaskan oleh pengadilan banding tingkat tinggi negara itu atas tuduhan bahwa dia memerintahkan pembunuhan demonstran selama pemberontakan 2011.
Mubarak telah menjalani hukuman tiga tahun karena menggelapkan dana negara sehubungan dengan kasus para pemrotes.
Morsi, yang mengenakan jumpsuit putih, menolak mempertanyakan Mubarak. Ketua hakim menunda sidang sampai 24 Januari. (Althaf/arrahmah.com)