SAROLANGUN (Arrahmah.com) – ”Orang Jakarta malah yang kirim kami qurban. Tarimo kasih,” ucap lirih Siti Patimah (34) sambil girang mengangkat kaki sapi untuk dibawa pulang. Kaki sapi itu jatah untuk suaminya yang turut jadi panitia pemotongan hewan Qurban Multi Manfaat LAZIS Dewan Dakwah di Dusun Singosari, Desa Pematang Kabau, Kecamatan Air Hitam Kabupaten Sarolangun, Jambi, Rabu (16/10/2013).
Keluarga Siti Patimah, salah satu dari 26 keluarga (126 jiwa) mualaf Orang Rimba Kelompok Aek Ban yang tinggal di tepi Hutan Taman Nasional Bukit Dua Belas (TNBD), Jambi. Dibutuhkan waktu tempuh lebih 2 jam dari Kota Sarolangun melalui jalan aspal dan jalur off-road untuk mengunjungi mereka.
Menurut peneliti Suku Anak Dalam (SAD), Profesor Muntholib Soetomo, Orang Rimba merupakan salah satu dari tiga kelompok SAD. Komunitas lainnya mendiami kawasan di sekitar Taman Nasional Bukit Tigapuluh, yang disebutnya Suku Talang Mamak. Kelompok ketiga di Sumatera Selatan, yang disebut Orang Batin Sembilan.
Muntholib menuturkan, dulu wilayah Kerajaan Jambi membentang sejak kawasan Sei Lilin di Sumatra Selatan hingga Pagaruyung di Sumatera Barat. Berdasarkan penelitiannya pada 1990 hingga 1995, ketiga kelompok SAD hidup sejak 1200. Kemudian, sekitar tahun 1500-an, timbul masalah antara Kerajaan Pagaruyung dan Kerajaan Jambi. Untuk menyelesaikan masalah itu, Kerajaan Pagaruyung mengirim beberapa orang utusan ke Kerajaan Jambi.
Para utusan itu menempuh perjalanan yang jauh dengan berjalan kaki. Namun, mereka kehabisan bekal di tengah jalan sebelum sampai tujuan. Akhirnya, rombongan ini meng-“kubu”-kan diri alias bertahan hidup di hutan yang kemudian hari dijadikan TNBD. Mereka inilah cikal-bakal Orang Rimba.
Menurut Helmi alias Birin (54), tetua setempat, mereka menetap di Singosari sejak 1989. Sebelumnya, sebagaimana Orang Rimba pada umumnya, Kelompok Aek Ban menganut animisme dan bermukim secara nomaden di hutan. Komunitas ini dibina oleh LSM Kelompok Peduli Suku Anak Dalam (Kopsad) yang dipimpin Budi Vrihaspati Jauhari (49).
”Awalnya kami hanya lima keluarga yang menetap di sini,” ujar Helmi, orang SAD pertama yang naik haji. Helmi yang memeluk Islam bersama seluruh keluarganya sejak 2001, dihajikan oleh Gubernur Jambi H Zulkifli Nurdin dan Bupati Sarolangun H Hasan Basri Agus pada tahun 2007.
Pemukiman Singosari dibangun permanen sejak 2009 oleh Kopsad dengan dana APBD Jambi. Bamuis Bank BNI 46 dan Bakti Husada Jakarta juga urun bantuan. Selain pondok-pondok kayu untuk keluarga, di sini juga terdapat Mushola An-Nuur, TPA At-Tiin, pondok singgah Pesiban serta sumur gali dan WC umum.
Kini, satu-dua pondok warga sudah berdinding tembok. Mereka adalah keluarga asimilasi SAD dan warga pendatang yang disebut Orang Dusun atau Orang Terang.
Namun, hampir semua warga SAD Singosari tetap berkubang dalam kemiskinan, baik secara material maupun spiritual. Keagamaan mereka dibimbing sekadarnya oleh Haji Helmi dan Ustadz Ali. Karena itulah, Ketua RT Malik bin Helmi tak keberatan warganya disebut mualaf meski sudah lama memeluk Islam.
Sudah dua musim Idul Adha, Qurban Multi Manfaat LAZIS Dewan Dakwah dinikmati Orang Rimba. Haji Helmi berharap, selain mengirim sapi qurban setiap tahun, Dewan Dakwah juga menempatkan seorang da’i di Singosari untuk membina warga. ”Sehingga kami tidak selamanya jadi mualaf,” katanya lirih. (nurbowo)
(azmuttaqin/nurbowo/arrahmah.com)