(Arrahmah.com) – Hidayah bisa datang kapan saja, dimana saja, dan kepada siapa saja. Tidak ada yang mampu menolak hidayah Allah Subhanahu Wata’ala jika Ia sudah berkehendak. Kaya, miskin, tua, muda, bisa saja mendapatkan kenikmatan hidayah dari Allah Subhanahu Wata’ala.
Berikut mualaf-mualaf yang memiliki pengaruh besar dalam sejarah Islam:
Keluarga Barmakid (600 M – 900 M)
Keluarga Barmakid adalah sebuah keluarga Budha yang berpengaruh dari daerah Balkh, sekarang berada di teritorial Afghanistan. Pada saat Dinasti Umayyah menaklukkan daerah tersebut, pada pertengahan tahun 600-an M, keluarga ini pun memeluk Islam. Setelah revolusi Abbasiyah tahun 750 M, keluarga Barmakid mulai menunjukkan bakat mereka sebagai administrator yang handal. Mereka mewarisi pengalaman nenek moyang mereka yang pernah mengurusi birokrasi kerajaan Persia selama berabad-abad. Pengalaman mengurusi birokrasi yang besar inilah yang tidak dimiliki oleh keluarga Abbasiyah.
Sebagai menteri atau pelaksana pemerintahan, keluarga Barmakid memiliki pengaruh yang signifikan dalam stabilitas kerajaan di akhir abad ke-8, Yahya bin Khalid al-Barmaki adalah adalah salah satu contohnya. Yahya ditunjuk sebagai mentor Harun al-Rasyid yang masih belia kala itu. Hasilnya sudah kita ketahui, Harun al-Rasyid dikenal sebagai khalifah terbaik di zaman Abbasiyah dan berhasil membawa kerajaan tersebut mencapai masa keemasan. Di bawah arahan dan bimbingannya, Harun al-Rasyid membangun hubungan yang baik dengan negara-negara tetangga, menumbuhkan ekonomi progresif, jaminan terhadap para ulama, dan sistem infrastruktur yang menyaingi kemegahan Romawi kuno di zamannya. Keluarga Barmakid lah yang sangat mempengaruhi menajemen perpolitikan dunia Islam yang berlangsung hingga beberapa abad.
Berke Khan (wafat tahun 1266 M)
Ia adalah cucu dari Jenghis Khan sang penakluk dari Mongol. Berke Khan merupakan tokoh penting dalam sejarah Mongol pada pertengahan tahun 1200-an M. Ia adalah raja Dinasti Golden Horde, salah satu generasi yang membawa bangsa Mongol mengecap masa keemasan mereka. Sebagaimana nenek moyangnya, Berke juga menganut paham Shamanisme sebelum ia memeluk Islam. Berke adalah seorang pemimpin yang kuat, ia pernah mengirim pasukan ke Utara pegunungan Kaukasus dan Tenggara Eropa untuk menaklukkan orang-orang Kipchak Turki. Ia juga memobilisasi pasukannya untuk menaklukkan seluruh wilayah Hungaria.
Setelah misi militernya selesai di wilayah-wilayah tersebut, dalam perjalanan pulang menuju Mongol, ia singgah di wilayah Bukhara, tempat dimana rasa keingintahuannya tentang Islam muncul. Lalu ia bertanya tentang Islam kepada penduduk setempat. Mendengar penjelasan-penjelasan tentang Islam, Berke meyakini pesan-pesan yang dibawa oleh agama Islam benar-benar sejalan dengan tujuan penciptaan manusia dan mendamaikan jiwanya yang tidak tenang dalam keyakinan animisme dan dinamisme yang dibawa oleh ajaran Shamaniah. Ia pun memutuskan untuk memeluk agama Islam sekaligus menjadi pemimpin Mongol pertama yang menerima Islam. Keislamannya juga diikuti oleh banyak prajuritnya.
Keislaman Berke dan pasukannya secara otomatis menanamkan jiwa persaudaraan mereka sesama umat Islam. Saat itulah mulai muncul ketegangan ditubuh pasukan Mongol, terutama dengan kubu sepupunya Hulagu Khan dari Dinasti Chagtai. Hulagu Khan adalah penguasa Mongol untuk wilayah bekas-bekas kerajaan Persia, ia dikenal kejam dan sangat mirip dengan kakek mereka Jenghis Khan. Hulagu telah membantai jutaan umat Islam dalam ekspansi-ekspansinya di wilayah-wilayah Islam.
Setelah mendengar jatuhnya Baghdad oleh sepupunya, Hulaghu Khan, pada tahun 1258, dengan penuh keyakinan dan semangat persaudaraan sesama muslim, ia kesampingkan pertalian darah atau nasabnya dengan Hulagu. Ia mengatakan “Hulagu telah memporak-porandakan semua kota-kota Islam dan membunuh khalifah, dengan pertolongan Allah aku akan membalas dan membuat perhitungan dengannya atas banyak darah umat Islam yang ia tumpahkan.” Dengan dukungan pasukan kerajaan Mamluk di Mesir, Berke memobilisasi pasukannya untuk memukul mundur pasukan Hulagu.
Zaganos Pasha (1446–1466 M)
Zagaros Pasha adalah seseorang yang berasal dari Yunani ada juga yang mengatakan seorang Albania. ia direkrut menjadi Yenicheri, korps elit kekaisaran Utsmani. Seperti Yenicheri lainnya, ia dibekali ilmu agama Islam, administrasi pemerintahan, dan pelatihan militer. Ia ditunjuk menjadi mentor dan penasihat calon raja ketujuh Dinasti Utsmani Sultan Mehmed II atau yang lebih dikenal dengan Sultan Muhammad al-Fatih yang masih sangat belia.
Saat Mehmed menjabat sebagai raja Utsmani, Zaragos pun diangkat menjadi seorang menteri. Zaragos selalu dilibatkan dalam semua urusan negara, terutama rencana penaklukkan Konstantinopel pada tahun 1453. Saat penyerangan Konstantinopel, Zaragos ditugaskan mengepung benteng Konstantinopel dari bagian Utara, dan pasukannya merupakan rombongan pertama yang berhasil menyentuh dinding Konstantinopel yang dikenal begitu kokoh. Peninggalan-peninggalan Zaragos masih tersisa di wilayah Edrine berupa masjid, dapur umum, dan pemandian umum.
Ibrahim Muteferrika (1674 – 1745 M)
Isu yang sering diarahkan kepada kerajaan Utsmani adalah ilmu pengetahuan pada masa kerajaan ini tidak berkembang, stagnan, dan sangat minim dengan inovasi, tidak berbanding dengan luasnya wilayah kerajaan dan lamanya masa kekuasaan mereka. Seorang yang berasal dari Hungaria, Ibrahim Muteferrika, mendengar dan mengamati isu yang beredar ini. Sebagai seorang diplomat yang ditugaskan menjembatani hubungan Utsmani dan Eropa, khususnya Prancis dan Swedia, Ibrahim Muteferrika menangkap peluang dari kebangkitan Eropa (Renaissance) dimana penggunaan mesin cetak menjadi budaya baru dan menurut Ibrahim orang-orang Eropa belum optimal menggunakan alat tersebut. Ia pulang ke Istanbul dengan misi mengembangkan inovasi percetakan dengan alat tersebut.
Ibrahim mulai mencetak dan menerbitkan atlas dunia yang berisikan peta-peta berbagai negara, kamus-kamus, dan buku-buku agama. Di antara hasil percetakannya yang paling terkenal adalah sebuah atlas yang dibuat oleh seorang ahli geograpi yang terkenal, Katip Celebi, yang menggambarkan peta dunia di zaman tersebut dengan tingkat detail dan presisi yang luar biasa. Selain mengembangkan percetakan buku-buku, Ibrahim Muteferrika juga menulis beberapa buku tentang sejarah, teologi, sosiologi, dan astronomi.
Alexander Russel Webb (1846 – 1965 M)
Di akhir abad 19, dunia jurnalistik Amerika mulai memasuki era baru. Pengaruh dunia tulis-menulis sangat besar dan efektif dalam membentuk opini di masyarakat. Salah seorang yang berperan dalam perkembangan tersebut adalah Alexander Russel Webb. Awalnya, Webb adalah seseorang yang beragama Kristen, namun semakin hari agama tersebut malah menimbulkan keraguan baginya, hingga hilanglah kepercayaannya dengan agama Kristen.
Setelah kepercayaan terhadap agama Kristen hilang, ia mulai membuka diri dan mempelajari agama-agama selain Kristen. Dan tiba-tiba ia merasakan ketertarikan terhadap Islam. Ketika ditunjuk pemerintah Amerika untuk menjadi salah satu pejabat kedutaan Amerika di Philipina tahun 1887, ia menggunakan kesempatan ini untuk berkorespondensi dengan temannya, seorang penganut Ahmadiyah dari India dan bertanya tentang Islam kepadanya.
Meskipun keislamannya dimulai dengan menganut paham Ahmadiyah, ia terus mengembangkan wawasan keislamannya dengan menuntut ilmu ke berbagai negeri Islam dan bertemu dengan para ulama-ulama Islam sehingga ia mendapatkan pemahaman yang baik tentang Islam dan terlepas dari pengaruh Ahmadiyah.
Tahun 1893, ia mengundurkan diri dari dunia diplomatik dan kembali ke Amerika. Di negeri Paman Sam inilah ia memulai dakwahnya menyeru kepada Islam. Dengan kemampuan jurnalistiknya, ia menulis beberapa buku dan kolom-kolom opini di media masa menjelaskan kepada masyarakat Amerika tentang Islam. Di awal abad 20, ia semakin dikenal sebagai seorang muslim yang giat dan vokal dalam mendakwahkan Islam di Amerika, bahkan Sultan Utsmani, Sultan Abdul Hamid II, memberinya gelar kehormatan dari kerajaan sebagai apresiasi terhadap apa yang telah ia lakukan. Alexander Russel Webb wafat pada tahun 1916 dan dimakamkan di New Jesrey. Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala merahmatinya.
Malcolm X (1925 – 1965 M)
Banyak hal yang bisa diceritakan dari perjalanan hidup Malcolm X karena perjalanan hidupnya tidak semulus tokoh-tokoh sebelumnya. Hidupnya sempat diwarnai rekam jejak negatif. Terlahir sebagai seorang kulit hitam adalah sebuah masalah di zamannya, karena masyarakat Amerika masih memarjinalkan orang-orang kulit hitam. Malcolm memulai masa mudanya yang keras dan berusaha menunjukkan eksistensinya di kehidupan, walaupun terkadang itu membawa masalah bagi dirinya sendiri. Ia pernah dikeluarkan oleh sekolahnya dan masuk bui di tahun 1946 karena kasus kriminal yang ia lakukan.
Selama 8 tahun mendekam di jeruji besi, Malcolm mulai terpengaruh dengan pemikiran “Negara Islam” yang dibawa oleh salah satu kelompok yang menyimpang yang didirikan pada tahun 1900-an. Kelompok ini mengkampanyekan supremasi orang-orang kulit hitam dan ras kulit putih adalah kelompok setan. Tentu saja latar belakang berdirinya kelompok ini adalah penindasan yang dilakukan oleh orang-orang kulit putih terhadap orang-orang kulit hitam. Setelah bebas dari penjara, Malcolm bertemu dengan “Nabi” gerakan NOI (Nation of Islam), Elijah Muhammad, Malcolm pun diangkat sebagai mentri dalam NOI.
Pada tahun 1950-an, Malcolm menduduki jabatan tertinggi dalam kelompok ini. Hal itu dikarenakan kecerdasannya dan retorikanya yang baik. Di era kebebasan Amerika kala itu, Malcolm menjadi seorang pejuang hak asasi yang terkemuka. Ia mengadvokasi hak-hak warga Amerika keturunan Afrika agar menjadi setara dengan orang-orang kulit putih. Perjuangan Malcolm ini sama halnya dengan Martin Luther King yang berusaha menjadikan hak warga kulit hitam setara dengan kulit putih, hanya saja, perjuangan Malcolm cenderung lebih keras dan radikal.
Tahun 1950-an terjadi transformasi lagi pada ideologi Malcolm, ia mulai melihat celah dan kekeliruan gerakan Nation of Islam. Ia pun meninggalkan gerakan ini dan mulai mengkaji Islam, mencari nilai-nilai murni dari ajaran Islam yang penuh kedamaian. Ketika ber-haji di tahun 1964, saat itulah ia menemukan hakikat ajaran Islam. Ia pulang ke Amerika lalu mengajarkan dan menyebarkan nilai-nilai dan ajaran-ajaran tersebut ke warga Afrika-Amerika di lingkungannya.
Di masa-masa perubahan ini pulalah Malcolm mulai angkat bicara tentang penyimpangan paham Nation of Amerika. Satu demi satu anggota Nation of Islam keluar dari gerakan tersebut, namun tidak sedikit pula anggota-anggota gerakan ini yang membenci dan memusuhinya. Puncaknya adalah pembunuhan terhadap dirinya pada tahun 1965 oleh anggota gerakan Nation of Islam.
Walaupun masa keislamannya tidak begitu lama, Malcolm X dianggap memiliki pengaruh besar bagi perjuangan umat Islam di Amerika dan persamaan hak warga kulit hitam yang termarjinalkan.
Oleh: Ustadz Nur Fitri Hadi, MA
(fath/kisahmuslim.com/arrahmah.com)