SURIAH (Arrahmah.com) – Pembagian kelas sosial masyarakat dengan cepat terbentuk di ibukota “Daulah Islamiyah” atau Islamic State (IS) yang sebelumnya dikenal sebagai ISIS, di kota Raqqah.
Hal ini terlihat dari perbedaan kualitas hidup antara Muhajirin, atau imigran, yang hidup “seperti bangsawan” dan penduduk setempat Suriah yang hidup di bawah kekuasaan mereka.
Gelombang warga kota Raqqah asli Suriah telah melarikan diri dari kota tersebut demi untuk mengungsi ke Turki karena mengalami eskalasi ketegangan yang terus meningkat.
Diskriminasi antara para pendatang asing (yang telah bergabung dengan “khalifah”) dan penduduk setempat yang sudah tinggal di sana jauh sebelum terbentuknya kelompok pimpinan Abu Bakar Baghdadi itu juga turut mendorong terjadinya eksodus tersebut, lansir Muqawamah Media pada Ahad (26/7/2015).
Ribuan pejuang asing dari negara-negara Barat dan Arab telah membanjiri Raqqah untuk bergabung dengan IS. Mereka banyak yang memilih Raqqah sebagai rumah baru mereka dalam sebuah langkah untuk membangun “Daulah” mereka yang mereka klaim sebagai sebuah Khilafah Islamiyah.
Pada saat Daulah Baghdadiyah ini terus menerus menjual mimpi-mimpi kekhalifahan dengan gambaran yang indah di berbagai media sosial, seperti penyebaran foto para “Prajurit Khalifah” yang tengah menikmati makanan yang mewah lagi berlimpah, maka pada saat yang sama di sudut lain kota Raqqah, penduduk setempat menjadi saksi bahwa para imigran tersebut telah menduduki kota dan memperlakukan mereka sebagai warga negara kelas dua, yang harus mengantri makanan demi bertahan hidup.
Dari rumah barunya yang menjadi rumah penampungan bagi para pengungsi di perbatasan Turki, Wissam -yang menolak untuk memberitahu nama sebenarnya karena takut akan pembalasan dari “sel tidur” Daulah Baghdadiyah yang beroperasi di Turki- mengatakan bahwa penduduk setempat terganggu oleh rasa teror, dan bahwa suasana saling curiga dan ketidakpercayaan telah merasuki kota hingga ia meninggalkan kota tersebut satu bulan yang lalu.
Ia mengatakan penduduk setempat terus-menerus mengalami pelecehan dan interogasi oleh para pejuang asing, yang mencurigai mereka sebagai bagian dari kelompok “moderat” Suriah.
Selain itu, kecurigaan tersebut juga mencakup anggapan bahwa penduduk setempat adalah bagian dari para penyusup yang mendestabilisasi Raqqah, serta adanya tekanan berlebihan dari dinas kepolisian Daulah Baghdadiyah yang terus-menerus memperlakukan mereka secara keras. Daulah Baghdadiyah melakukan tekanan terhadap penduduk setempat dengan dalih untuk menegakkan hukum agama.
“Mereka datang ke kafe internet dan memeriksa dengan siapa para Anda berbicara. Mereka akan menyita telepon Anda di jalan dan memeriksa kontak Anda,” ujarnya.
Ia menambahkan, “Mereka tidak mempercayai kami.”
Selain itu, warga kota Raqqah yang asli Suriah juga mengatakan bahwa ada perbedaan kekayaan yang semakin mencolok dan diskriminasi antara pendatang dan warga sipil setempat. Bahkan perbedaan Upah Minimum antara para prajurit yang menjadi pendatang di kota itu dengan penduduk asli kota tersebut bisa mencapai dua atau bahkan tiga kali lipat, dilaporkan pula bahwa para imigran hidup mewah dibandingkan dengan warga Suriah.
Sarmad Al-Jailani, warga kota Raqqah yang melarikan diri dari kota tersebut 4 bulan yang lalu, mengatakan bahwa para prajurit IS disediakan segala sesuatu yang mereka butuhkan dalam kehidupan baru mereka termasuk listrik dan kesehatan gratis.
“Satu-satunya kriteria bagi mereka untuk mendapatkan layanan khusus adalah bahwa mereka Muhajirin,” jelasnya.
“Para pendatang asing tersebut mendapat gaji dengan mata uang Dollar Amerika, sedangkan penduduk setempat hanya mendapat gaji dengan mata uang pound Suriah.”
Salah satu mantan penduduk Raqqah yang sekarang tinggal di Turki, Mohammed, mengeluh bahwa “orang asing mendapatkan semuanya”.
“Mereka membeli semua barang kelas atas, sedangkan warga Suriah akan menawar lebih dari 10 sen,” katanya.
Dia mengatakan prajurit IS dilengkapi dengan gas pada tingkat subsidi pada saat penduduk setempat menghadapi meroketnya harga barang kebutuhan pokok, dan bahwa para pejuang asing tersebut tidak pernah mengalami antrian roti, sebagaimana yang dialami penduduk asli.
“Mereka para pendatang memiliki kualitas hidu[ yang lebih baik. Di kota Raqqah, kami memiliki lelucon: ‘Seorang prajurit IS asal Mesir sedang berbicara dengan ibunya, yang memintanya untuk kembali ke rumah. Maka petempur itu berkata, ‘Di Mesir, aku adalah tukang semir sepatu. Sedangkan di Raqqah aku adalah pangeran, dan anak saya akan menjadi anak seorang pangeran,’ katanya pada ibunya'”.
Api kebencian dan kecemburuan pun tumbuh tak terbendung dari kalangan penduduk sipil asli Suriah di Raqqah, mereka kini lebih memilih mengungsi ke Turki daripada hidup sebagai warga kelas dua di rumah mereka sendiri.
(aliakram/arrahmah.com)