JAKARTA (Arrahmah.com) -Majelis Ulama Indonesia (MUI) menolak penggunaaan alat pemindai tubuh (full-body scanner) dipasang di bandara di Indonesia. Selain tidak sesuai aturan agama, juga melanggar hak asasi manusia.
“Jangan dulu dipasang di Indonesia. Kita ini bukan negara paranoid atau negara takut. Yang kita takutkan justru alat itu melanggar hak asasi dan bisa jadi mainan untuk menzalimi wanita,” jelas Ketua MUI Amidhan, Selasa (23/2).
MUI sepakat dengan ketidaksetujuan Paus Benedict XVI terhadap alat yang mampu ‘menelanjangi’ tubuh itu.
“Itu melanggar hak asasi. Kalau yang kelihatan tulang itu tidak apa, tapi kalau yang tampak tubuh bisa jadi mainan,” terangnya.
MUI memberikan perkecualian dalam penggunaan alat itu dalam kondisi darurat, menyangkut keamanan dan ketertiban negara. “Itu pun tentu yang memeriksanya wanita untuk wanita, dan pria dengan pria,” tambahnya.
Sedang untuk saat ini, Amidhan menilai bukan dalam kondisi darurat dan alat yang lain pun masih bisa digunakan. “Jadi pokoknya sepanjang tidak ada alat lain, artinya darurat,” tambahnya.
Alat pemindai modern ini telah ada di sejumlah bandara di Indonesia sejak tahun 2008. Scanner itu bermerek ProVision buatan pabrikan L3 Security & Detection System, Amerika Serikat. Dephub RI menjamin alat itu tidak akan memperlihatkan alat vital.
Di sejumlah negara, alat ini telah digunakan secara berkala pada calon penumpang yang mencurigakan. Saat ini alat tersebut diuji coba di sejumlah bandara di Kanada dan Perancis. Pemeriksaan akan difokuskan untuk para penumpang yang hendak ke Amerika Serikat (AS). (Det, 23/2)
Terlalu “Telanjang” dan Vulgar
Di Uni Eropa sendiri menunda pemasangan perangkat pemindai terbaru di beberapa bandara mereka. Perangkat ini terganjal permasalahan etika karena dinilai terlalu ‘telanjang.’
Awalnya, pemindai canggih ini dimaksudkan untuk memperketat keamanan agar penyelundup tidak bisa menyusupkan barang terlarang ke kabin pesawat. Namun sebagian besar pengamat etika menyebut perangkat tersebut sama saja seperti ‘menelanjangi’ objek yang dipindainya.
Tak ayal, hal ini menimbulkan ketidaknyamanan para pengunjung bandara. Pasalnya, layar pemindai yang berada di hadapan petugas bandara menampilkan bentuk badan para penumpang dengan sangat jelas. Itu sebabnya, masih banyak negara di seluruh dunia yang berpikir ulang untuk memasang perangkat tersebut di bandara mereka.
Di AS, hingga saat ini tercatat sudah ada 19 bandara yang menggunakan teknologi pemindai tersebut.
Sementara Uni Eropa selain Kanada dan Perancis masih mempertimbangkan berbagai hal untuk menggunakan teknologi senilai USD190.000 atau Rp1,7 miliar ini.
Kontroversi tersebut pada akhirnya mendorong parlemen AS untuk ikut-ikutan melarang penggunaannya secara massal. Melalui proses voting, lebih dari 70 persen anggota parlemen AS menyatakan untuk menunda pemakaian pemindai canggih tersebut sementara waktu karena alasan privasi.
Namun di sisi lain, ada juga beberapa pihak yang menyetujui penggunaan scanner tersebut. Dukungan terhadap penerapan teknologi ini salah satunya datang dari Kepala Asosiasi Pilot Belanda Evart van Zwol.
“Pemindai tubuh tersebut sangat membantu dalam hal pencegahan masuknya benda terlarang, termasuk bom ke dalam kabin pesawat,” ujarnya.
Senada dengan Zwol, Transport Security Administration di AS pun menyebutkan sebuah bandara memerlukan teknologi pemindai yang canggih. Pasalnya, kini banyak benda terlarang yang tidak sanggup lagi terdeteksi oleh metal detector. (voa-islam/arrahmah.com)