Oleh : Yuliyati Sambas, S.Pt *)
(Arrahmah.com) – Momentum Ramadan dan Idul Fitri yang penuh keberkahan tahun ini tercoreng oleh kasus buruk yang berulang di tengah masyarakat. Peredaran daging babi di pasar umum dengan label daging sapi yang terjadi di Kabupaten Bandung. Ini menjadikan sebagian kalangan berpandangan dibutuhkan mekanisme pasar halal untuk memberi jaminan perlindungan bagi keyakinan yang dianut kaum muslimin.
Wacana ini salah satunya disampaikan oleh mantan Kabid Perdagangan Dalam Negeri Disperindag Kabupaten Bandung, Engkus Kustyana yang pernah menangani pasar-pasar di Kabupaten Bandung.
“Konsep pasar halal ini pernah digagas waktu saya masih bekerja di Disperindag Kabupaten Bandung dan kini sangatlah relevan. Hanya sayangnya belum banyak yang merespon desain konsep tersebut,” kata Engkus yang kini menjadi dosen Fisip UIN Sunan Gunung Djati. (Pikiran rakyat.com, 23/05/2020)
Kasus ini tentu membuat kaum muslimin merasa miris dan tertipu. Betapa tidak, di dalam Al-Qur’an dengan tegas dilarang untuk mengonsumsi makanan haram, termasuk di antaranya daging babi. Hal demikian selain akan mengundang azab Allah, juga mengakibatkan terhalangnya doa diijabah. Diperkuat satu keyakinan yang ditunjang fakta bahwa di balik setiap larangan Allah, terselip bahaya ketika dilanggar. Maka bisa kita bayangkan ada demikian banyak kerugian yang diperoleh oleh kaum muslimin ketika mengonsumsi makanan haram.
Motif yang Melatar Belakangi Berulangnya Kasus
Jika ditelusuri, ada beberapa penyebab yang mendasarinya. Pertama, lemahnya keimanan individu dari para pelaku kejahatan. Sungguh dengan keimanan seseorang akan memiliki kekuatan mental untuk hanya mencari jalan penghidupan halal saja. Karena harta yang didapat dari jalan haram itu jelas tidak berkah. Bahkan hadis mengungkapkan bahwa daging yang dihasilkan dari makanan haram (baik zatnya maupun tata cara pencarian rezekinya) maka Allah ridhakan baginya untuk disulut api neraka kelak. (HR. Ahmad, at-Tirmidzi dan selainnya. Dishahihkan Syaikh Al-Albani di Silsilah Shahihah, no. 2609). Na’uzubillah.
Kedua, kehidupan sempit yang dialami kini telah membutakan mata sebagian masyarakat dalam berpegang pada keyakinan agama. Benarlah ungkapan yang menyebutkan “kefakiran itu mendekatkan pada kekufuran”. Ditambah kenyataan pahit yang dihadapi sebagian besar masyarakat. Terlebih di tengah ujian pandemi, semua harus rela untuk menjalani kondisi di rumah saja, sementara kebutuhan perut dan hidup mereka tidak diperhatikan dengan semestinya oleh sang pembuat kebijakan. Jadilah tak sedikit yang terpeleset untuk memilih jalan haram demi menghindarkan diri dari bahaya kelaparan. Itu dari sisi produsen dan pengedar.
Dari sisi konsumen, tak jauh beda. Adanya produk bahan pangan murah dirasa angin segar, di tengah terhimpitnya kondisi ekonomi saat ini. Akhirnya sebagian mereka tidak memikirkan keaslian atau keamanan dari makanan yang dibeli. Yang penting terjangkau di kantong, masalah lain urusan belakangan.
Ketiga lemahnya sistem pengawasan yang diberlakukan oleh pemerintah saat ini. Pemerintah tampak baru melakukan action jika sudah muncul kejadian. Kasus di atas adalah salah satu buktinya. Setelah satu tahun beredar di pasaran, baru terungkap. Bayangkan, dari kasus di atas saja dilaporkan bahwa polisi hanya mampu mengamankan total 600 kilogram dari 63 ton daging babi yang telah beredar. (cnnindonesia.com, 11/05/2020)
Itu baru fakta yang mencuat di media dan yang terjadi di Kabupaten Bandung saja. Bagaimana dengan yang tidak terendus media? Apa kabar dengan kasus di daerah lain? Lantas bagaimana kondisi kejahatan serupa dengan ragam cara pemalsuan lainnya? Sungguh kian menyesakkan dada. Di negeri dengan penduduk mayoritas muslim ini, bahkan urusan perut saja tidak mendapat pengurusan terbaik dari sisi keamanan dan kehalalannya.
Karut marut dalam proses pembuatan dan pelaksanaan Undang-Undang Jaminan Produk Halal (UU JPH) menjadi salah satu problem yang tak semestinya ada di negeri dengan penduduk mayoritas muslim terbesar di dunia ini. Terhitung sejak 17 Oktober 2019, adalah tanggal dimulainya ketentuan sertifikasi halal. Namun berlakunya beleid Jaminan Produk Halal itu tidak serta merta membuat sertifikasi halal langsung menjadi wajib. (Tempo.co, 17/10/2019) Hal itu menampakkan betapa pemerintah belum siap betul untuk melaksanakan kebijakan jaminan produk halal bagi masyarakat.
Keempat lemahnya sistem sanksi hukum yang diberlakukan. Menjadikan kasus demi kasus datang dan pergi tanpa menyisakan kata tuntas dalam mengedukasi para pelaku bisnis haram itu. Sehingga berefek jera bagi mereka maupun masyarakat umumnya. Para pelaku memang dijerat dengan Pasal 91 A jo Pasal 58 Ayat 6 UU Nomor 41 Tahun 2014 tentang peternakan dan kesehatan hewan, serta Pasal 62 Ayat 1 jo Pasal 8 Ayat 1 UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen, dengan ancaman hukuman 5 tahun penjara. Namun dari berulangnya kasus, hal itu menandakan bahwa ada kelemahan sistem sanksi di negeri penganut demokrasi ini.
Semua hal di atas lebih sebagai dampak dari paradigma sekuler yang dianut di negeri ini. Agama hanya dipeluk dari sisi mahdhah (ibadah hablum minallah) saja. Sementara perkara kehidupan, halal haram kian tidak dijadikan patokan. Agama juga kerap dijadikan sebatas urusan pribadi. Keterikatan terhadap aturan syara menjadi bagian privat dimana pihak lain -baik individu, masyarakat maupun negara- tidak memiliki kewenangan untuk saling mengurusi dan memperhatikan. Maka wajar terkait kasus di atas, para pengedar produk haram tak jarang berasal dari kalangan muslim juga. Budaya amar makruf nahi munkar kian terpupus. Prinsip individualistik kufur telah berhasil merasuki benak masyarakat saat ini.
Terungkapnya kasus peredaran daging babi sebagai daging sapi di atas kian mengonfirmasi betapa lemahnya perlindungan negara atas rakyat yang menjadi tanggung jawabnya. Prinsip sekuler telah menyekat ruang publik untuk tidak dicampurkan dengan urusan agama. Paradigma kapitalistik telah menjadikan tolak ukur materi (ekonomi) lebih dijadikan pertimbangan dalam pengurusan rakyat banyak.
Gagasan pasar halal yang digulirkan oleh para pakar pun lebih sebagai jawaban yang lekat dengan urusan bisnis semata. Industri halal nasional bahkan internasional menjadi lahan yang sangat menarik untuk dimasuki. Prinsip supply and demand produk halal menjadi peluang bisnis yang demikian menggiurkan para kapitalis. Setidaknya hal itu salah satunya tergambar dari pernyataan Wapres Ma’ruf Amin yang menyayangkan kondisi Indonesia dimana belum banyak berperan dalam halal market internasional “Laporan Global Islamic Economic Report 2019, Indonesia tertinggal jauh dibandingkan dengan Brasil yang merupakan eksportir produk halal nomor 1 di dunia dengan nilai US$5,5 miliar yang disusul Australia dengan nilai US$2,4 miliar,” (mediaindonesia.com, 13/12/2019). Sungguh ini adalah jawaban riil dari diterapkannya sistem kapitalis di negeri ini.
Solusi Hakiki dalam Pandangan Islam
Islam sebagai agama paripurna memiliki seperangkat aturan menyeluruh. Aspek yang mengatur hubungan antara manusia dengan Rabb-nya (hablum minallah); terdiri dari ibadah mahdhah dan jihad. Mengurusi hubungan antara manusia dengan sesamanya (hablum minannaas); mencakup muamalah dan sistem kehidupan lainnya. Juga aspek hubungan manusia dengan dirinya sendiri (hablum minan nafsih); mulai dari perkara makanan/minuman, pakaian, dan akhlak.
Terkait dengan perkara makanan dan minuman, Islam memandang bahwa aspek halal dan thayib wajib diperhatikan. Baik dari sisi zatnya, proses pengolahannya, juga dalam hal cara mendapatkannya. Sebagaimana firman-Nya,
“Wahai manusia. Makanlah dari (makanan) yang halal dan thayib (baik) yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan. Sungguh, setan itu musuh yang nyata bagimu.” (TQS. al-Baqarah: 168)
Diperinci lagi dalam ayat lain,
“Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan atasmu bangkai, darah, daging babi, dan (daging) hewan yang disembelih dengan (menyebut nama) selain Allah. Tetapi barang siapa terpaksa (memakannya), bukan karena menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.” (TQS. al-Baqarah: 173)
Setiap individu muslim sesungguhnya membutuhkan pengaturan hidup yang berasal dari Zat yang Menciptakan kehidupan. Dengan ruh iman dan takwa semua akan berupaya melaksanakan titah agama. Ditunjang budaya amar makruf nahi munkar sebagai wujud kasih sayang terhadap sesama. Ini akan memunculkan prinsip saling memperhatikan satu sama lain dalam berbagai perkara. Mereka tidak ridha jika ada saudara sesama muslim terjerumus maksiat.
Negara dalam pandangan Islam pun tidak akan absen dalam perannya mengurusi masyarakat. Amanah yang diampu, diyakini betul kelak akan Allah mintakan pertanggung jawabannya. Disadari betapa tugas penguasa adalah sebagai penerap syariat. Negara akan melakukan beberapa perkara:
Pertama membina masyarakat untuk senantiasa terikat dengan hukum syara. Melalui mekanisme pendidikan formal yang ditunjang support penuh agar bisa diakses seluruh rakyat. Lalu pendidikan informal dengan menderaskan forum-forum kajian dan taklim agar menyentuh semua lapisan masyarakat. Sehingga dipastikan bahwa setiap individu memahami ilmu dunia terlebih ilmu agama. Mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari, tidak sebatas dijadikan ranah ilmiah yang minim praktek.
Kedua membuat dan memberlakukan regulasi aturan yang mengacu pada syariat. Terkait urusan pangan, pemerintah Islam akan memastikan bahwa setiap individu yang ada di bawah tanggungjawabnya tercukupi dari sisi kesejahteraannya. Maka tak akan ada kasus seseorang melakukan perbuatan maksiat semisal menjual makanan haram demi mencukupi kebutuhan hidupnya. Juga tak akan didapati masyarakat yang apatis dengan urusan halal haram, karena selain keimanannya telah kuat, kebutuhan hidupnya pun telah terpenuhi.
Adapun terkait makanan haram yang masih dibutuhkan oleh nonmuslim, negara akan memberlakukan pengawasan ketat dimana hanya boleh beredar dan diproduksi secara terbatas di kalangan mereka saja. Dengan mekanisme seperti ini mustahil makanan haram bercampur dengan yang halal di pasar umum sebagaimana masih terjadi di masa kapitalis sekuler kini.
Ketiga menegakkan sanksi hukum untuk melindungi negara di bawah payung keadilan hakiki. Jika dua komponen regulasi di atas telah dilakukan, lantas masih terjadi kasus semisal beredarnya makanan haram di tengah masyarakat umum, negara akan memberlakukan sanksi tegas dengan jenis dan kadar yang dikembalikan pada ijtihad amirul mukminin.
Itulah solusi tuntas dan hakiki untuk memberantas segala bentuk kecurangan termasuk peredaran makanan haram di tengah masyarakat. Dengan solusi sistemik berupa diterapkannya syariat Islam yang menyeluruh, niscaya semua problematika kehidupan lain pun dapat tuntas terselesaikan. Tak tergerakkah kita untuk meraihnya?
*) Pegiat literasi Komunitas Penulis Bela Islam AMK
(ameera/arrahmah.com)