(Arrahmah.com) – Emosi Presiden Jokowi meledak-ledak bila terkait isu PKI yang menerpa dirinya. Ia kerap mengungkapkan kemarahanya menggunakan kosa kata emosional, seperti fitnah, hoax, ngawur, gebuk, cemooh, mencela dll sejenisnya. Bercermin pada Pilpres 2014 lalu, elektabilitasnya menurun lantaran fitnah dan hoax PKI. Ia tak ingin hal yang sama terulang pada Pilpres 2019. Karena itu Jokowi perintahkan pada Kapolri Jend. Tito Karnavian supaya menindak tegas penyebar hoax.
Mengapa presiden Jokowi marah-marah dan lampiaskan emosinya melalui layar TV? Ikuti debat imajiner antara Jokowi dan Abu Mujadil, merespon opini yang sering membuat marah presiden.
Jokowi : Saya difitnah, mau marah ya gimana, enggak marah ya gimana. Masak saya dituduh memalsukan data saat maju sebagai Capres 2014 lalu. Menurutnya, isu yang menyebut dirinya bukan anak kandung dari Nyonya Sujiatmi Notomiharjo, sangat tidak berdasar. Setelah diteliti kan ternyata ayah dan ibu saya tidak ada kaitan dengan PKI,” ujar Jokowi saat itu di dampingi Mensesneg Pratikno.
Abu Mujadil : Tuduhan tersebut serius Pak Presiden. Mengapa ada tuduhan demikian, apa indikasinya dan atas dasar apa? Nama baik Presiden RI ke 7 harus dibersihkan, bisa melalui litsus atau tes DNA.
Jokowi : “Saya kan masih balita kok difitnah seperti itu. PKI dibubarkan tahun 1965, saya lahir tahun 1961. Berarti saya masih berumur 3-4 tahun. Masak ada PKI Balita. Lucu banget kan, yang memfitnah itu ngawur,” ujar Jokowi saat acara penyerahan sertifikat tanah di Bogor, Selasa 6/3/2018.
Abu Mujadil : “Memang ngawur presiden. PKI balita tidak ada. Sama juga, mana ada balita beragama dan anti agama. Tidak ada balita bertuhan dan anti Tuhan. Yang mungkin dikhawatirkan, apabila balita tersebut tumbuh dewasa dilingkungan PKI atau anti PKI. Sejarah membuktikan Presiden Kemal Ataturk yang meruntuhkan kekhalifahan Turki. Dia mengaku beragama Islam tapi berideologi marxis. Atau seperti Presiden Soekarno di Indonesia, mengaku Muslim tapi berideologi marxis sehingga lahirlah Nasakom yang membonsai nasionalisme, agama, komunisme. Jika Presiden Jokowi ingin bersih dari indikasi PKI, tergantung kebijakan politiknya terhadap fenomena bangkitnya PKI, dan bersikap adil terhadap komunitas anti PKI.
Jokowi : “Saya tegaskan bahwa isu PKI merupakan berita bohong dan fitnah. Saya heran masih banyak masyarakat yang mempercayai isu tersebut”.
Abu Mujadil : ” Persepsi presiden dan masyarakat berbeda terkait kebangkitan PKI.
Beda persepsi dipicu oleh sikap dan pernyataan Ketua DPP PDIP Ribka Tjiptaning Proletariyati. Ia menyesalkan batalnya Presiden Jokowi untuk meminta maaf pada keluarga PKI saat pidato tahunan MPR, DPR, DPD pada Jum’at 14/8/2015.
Selain itu, penulis buku “Aku Bangga Jadi Anak PKI” dan “Anak PKI Masuk Parlemen.” Mengapa tak pernah diminta klarifikasi mengenai buku tersebut, malah terkesan dibiarkan bahkan dilindungi terutama oleh partainya.
Pada tahun 2002 di Lativi, sekarang tvOne, Ribka mengatakan bahwa ada 20 juta kader PKI di Indonesia. Mengapa pemerintah diam saja, malah PDIP memilihnya jadi anggota DPR. Presiden Jokowi hendaknya adil dan tidak diam saja melihat politikus anak PKI berani bicara terus terang tentang kebangkitan PKI di publik. Sementara, Alfian Tanjung yang mengungkap kebangkitan PKI berdasarkan fakta dan juga ucapan Ribka, malah dipenjara dua kali atas laporan Sekjen PDIP. Pemerintah Jokowi telah bertindak zalim terhadap Alfian Tanjung.
Jogjakarta, 23/3/2018
Irfan S. Awwas
(samirmusa/arrahmah.com)