Radikalisme dalam pengertian politik, adalah orientasi politik yang menghendaki perubahan revolusioner dalam pemerintahan dan masyarakat menggunakan kekerasan dengan mengatasnamakan agama. Momok radikalisme, sebenarnya barang usang yang terus dipertahankan untuk membungkam suara kebenaran dan menyandera gerakan Islam.
(Arrahmah.com) – Kata radikalis sebenarnya telah berumur panjang, dengan pengertian dan pemahaman dari sudut yang memandangnya. Sebagaimana telah diukirkan dalam sejarah bahwa tidak sedikit sekumpulan orang atau segolongan kaum radikal bermaksud hendak mengganggu, mengobok-obok tatanan kekuasaan atau kekuatan resmi yang sah dengan keras.
Untuk konteks Indonesia, bahkan jauh sebelum Republik Indonesia diproklamirkan, ada-ada saja gerakan yang distigmakan radikal, yang disebut-sebut hendak menggoyang tatanan dan kemapanan. Tamsil di pelbagai pojok dunia juga menunjukkan adanya gerakan radikal atau teroris yang mengganggu keteraturan tata dunia. Sebutlah Order of the Assassins, Japanese Red Army, Baader Meinhof, Irgun Yahudi, atau Symbionese Liberation Army yang hanya berjumlah 8 orang.
W.J.S. Poerwodarminto menerjemahkan kata radikal dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia (Penerbit PN Balai Pustaka, Cetakan ke-VIII, 1985, halaman 788), sebagai “haluan politik yang amat keras menuntut perubahan undang-undang, ketatanegaraan dan sebagainya.” Misalnya: “kebijaksanaan pemerintah disanggah oleh anggota-anggota DPR yang radikal”. Sedangkan Horace M. Kallen mendifinisikan radikalisme dalam Ensiklopaedia of The Social Science (1954, halaman 51-54), “… sebagai gerakan sosial yang menolak secara menyeluruh tertib sosial yang sedang berlaku dan ditandai oleh kejengkelan moral yang kuat untuk menentang dan bermusuhan dengan pihak yang punya hak-hak istimewa dan sedang berkuasa.”
Namun, terjemahan yang sebenarnya mengacu kepada siapa yang membacanya. Pada masa kolonial Belanda, perlawanan petani Banten tahun 1888, Perlawanan Rakyat Blitar 1888, dan perlawanan arek-arek Surabaya pada tahun 1904 disebut sebagai gerakan radikal. Yang menarik, sebagaimana dikemukakan Takashi Shiraishi dalam bukunya “Zaman Bergerak”. Radikalisme Rakyat di Jawa 1912-1926″ (Penerbit Pustaka Grafiti, 1997), perlawanan para tokoh pergerakan seperti Boedi Oetomo (BO) dan Centraal Sarekat Islam (CSI) serta Insulinde pada tahun 1919, yang bersama Ch.G.Craemer, seorang anggota Volksraad dari ISDP (Indische Sociaal-Democratische Partij) membentuk koalisi parlementer, bahkan memilih menamakan “gerakannya” : Radicale Concentratie.
Maka kata radikal itu dinisbahkan pada siapa yang mengatakan, membacakannya, dan sedang ada di atau dari sebelah mana. Stigma dari kolonial tentu adalah kata bualan yang diciptakan. Berbeda dan bertentangan dari tolok ukur para pejuang kemerdekaan. Maka, Habermas, seperti dikutip A.M. Hendropriyono dalam disertasinya (yang dibukukan) “Terorisme, Fundamentalis Kristen, Yahudi, Islam” (Kompas Media Nusantara, 2009) menyatakan bahwa pada suatu tempat dan waktu yang berbeda seorang teroris adalah juga seorang pejuang kemerdekaan.
Namun sesungguhnya lebih dari pada itu. Dalam konteks Indonesia, mereka adalah pejuang pergerakan kemerdekaan dan pahlawan bangsa yang tidak dapat dinegasikan sebagai radikalis, fundamentalis atau teroris. Sikap dan pembatasan definisi ini menjadi sebuah ketetapan dan keniscayaan yang semestinya terhitung sejak Proklamasi 17 Agustus 1945.
Jejak Sejarah Republik
Rekam sejarah Republik yang tergelar, sesungguhnya juga tak lepas dari radikalis, fundamentalis dan teroris. Pada awal proklamasi, para pejuang kemerdekaan juga mendapat gangguan teror dari orang-orang binaan dan upahan Belanda. Tiga tahun kemudian muncul pemberontakan yang dilakukan oleh PKI di Madiun, 1945, yakni ketika komunis tak berkuasa, bahkan juga ketika komunis sedang jaya-jayanya berkuasa pada tahun 1965.
Tercatat kurang dari lima tahun setelah kemerdekaan malahan SM. Kartosoewirjo—seorang pejuang kemerdekaan yang hidup sedari muda satu guru satu ilmu bersama Soekarno di rumah “Raja Tanpa Mahkota” HOS.Cokroaminoto—mendeklarasikan DI/TII di Jawa Barat. Sebuah langkah yang kemudian disadari atau tidak mengakibatkan berlarutnya perdebatan sidang Konstituante dalam perumusan dasar Negara usai Pemilu 1955 dan berakhir deadlock, yang kemudian berujung dengan keluarnya Dekrit Presiden 1959.
Para radikalis atau disebut kelompok sempalan atau diistilahkan Gerakan Pengacau Keamanan (GPK) bermunculan dari RMS di Maluku sampai OPM di Papua dan juga GAM di Aceh, Teror Warman, dan belakangan mulai bermunculan istilah baru yang kini terkenal dengan stigma teroris—sebuah istilah yang mengingatkan pada stigma yang dipalukan pertama kali oleh kolonialis Belanda.
Sungguh menarik pergerakan kelompok yang belakangan terlaris dengan sebutan radikalis teroris dengan tokoh-tokohnya seperti Abu Bakar Ba’asyir, lalu Oman Abdurrahman, yang dikenal sebagai tokoh garis keras dari kelompok Takfiri, dan jalinan berkelindannya sampai pada kelompok Santoso yang kini di Poso yang disebut-sebut bahkan mendatangkan jaringan ISIS dari negara Tiongkok berjumlah 7 orang. Dan lengkap dengan berbagai medianya, terutama media maya yang kini lagi pada digenjot yang tercatat 19 telah terkena bredel oleh Kementerian Kominfo.
Namun yang sungguh menarik, dan seperti luput dari perhatian adalah radikalis agama lain yang pernah terlibat dalam pemboman Candi Borobudur tahun 1984 oleh Muladawilah dan Husein al Habsyi yang konon disebut-sebut berbau Syi’ah. Inilah langkah-langkah kaum yang dikenal dengan taqiyah dan imamahnya, yang berkecambah secara halus dan kasat mata, dan semakin menampilkan dirinya secara lebih mencolok dibandingkan Ahmadiyah.
Sebagaimana yang terjadi belakangan ini bahkan di bulan lalu sudah berani mengirimkan 30 orang Syi’ah menyerang Masjid Az-Zikra milik Ustadz Arifin Ilham di Bogor.
Selepas penyerangan masjid Az-Zikra, sejumlah masjid-masjid di Jabodetabek seperti digerakkan, ya seperti ada yang menggerakkan para penceramah pada berbicara dan membahas tentang Syi’ah. Sementara ribut pada blingsatan jamaah mencurigai penceramah yang didatangkan sebagai Syi’ah, dengan mengirim sms, melakukan gerakan-gerakan siluman, dan manufer-manufer berbisik-bisik, tapi yang terjadi sebenarnya boleh jadi Jalal malah tenang menyiapkan konsep dan melakukan lobi-lobi; dan Senayan pun lalu menyiapkan pembahasan RUU Kerukunan Umat Beragama.
Namun, yang seperti sungguh dipalukan, anggota DPR dari PDIP Jalaluddin Rachmat, yang juga Ketua Dewan Syuro IJABI sudah berani mengancam, “Saya kira kelompok Syi’ah ‘tidak sebagus’ kelompok Ahmadiyah. Kita adalah sebuah kelompok keagamaan yang mendunia. Jadi berbeda dengan kelompok Ahmadiyah yang menyambut pukulan yang mematikan itu dengan senyuman. Orang-orang Syi’ah tidak akan membiarkan tindakan kekerasan itu terus-menerus terjadi. Karena untuk pengikut Syi’ah, mengorbankan darah dan mengalirkannya bersama darah Imam Husein adalah suatu kemuliaan. Saya tidak bermaksud mengancam ya, tapi apakah kita harus memindahkan konflik Sunnah-Syi’ah dari Irak ke Indonesia? Semua itu berpulang pada pemerintah.”
Maka menjadi klop sudah jika dipayungi dengan kabinet pemerintahan Presiden Joko Widodo yang dipandegani oleh PDIP dengan Megawati Soekarnoputri sebagai panutannya, juga dengan kerisauannya sebagaimana terungkapkan di Kongres Bali tentang adanya penumpang-penumpang gelap, entah siapa saja yang dituju. Sesungguhnya tak hanya di elitenya tetapi yang terutama adalah pada basis kekuatan riel di bawahnya, yang memenangkannya. Pada dua kekuatan kaki berpijak di atas umat.
oOo
Akhir-akhir ini, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) mengembangkan opini, seakan Indonesia menjadi zona terbuka bagi kuliah kekerasan yang bersumber dari Kitab Suci Al-Qur’an. Karena itu, pemerintah di dorong untuk melakukan proyek deradikalisasi dengan melibatkan semua elemen masyarakat, ormas Islam, lembaga pendidikan, pesantren, media massa dan sebagainya.
Dengan proyek deradikalisasi ini, umat Islam disandera dengan stigma radikal, ekstrim, intoleran. Lebih parah lagi, umat Islam digiring untuk dijadikan sebagai tersangka radikal secara apriori. Deradikalisasi menggunakan dua pola.
Pertama, deradikalisasi opini, yaitu menyebarluaskan isu, propaganda. Bagian ini ditangani BNPT. Kedua deradikalisasi eksekusi dilakukan oleh Densus 88.
Sikap apriori yang dikampanyekan BNPT kerap berujung fitnah dan permusuhan. BNPT gampang mengumbar tuduhan berdasarkan persepsinya sendiri.
“Kaum radikal tidak melihat adanya keberagaman atau pluralisme. Hal inilah yang menjadi gesekan sesama kita karena cara pandang yang jauh dari dinamika,” ujar Prof. Dr. Irfan Idris, MA, Direktur Deradikalisasi BNPT dalam diskusi “BNPT Bincang Damai” di kawasan Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Kamis (19/03/2015).
Di sisi lain, pada saat ditanya mengapa stigma radikal acap kali disematkan ke agama Islam? Irfan Idris mengatakan bahwa itu terjadi lantaran para pelaku membawa-bawa simbol agama. Dalam benak oknum-oknum di BNPT, ajaran agama dianggap bukan solusi terhadap problem masyarakat, melainkan sumber kekerasan. Karena itu, seperti kaum zionis, mereka menghendaki agama tidak di bawa-bawa dalam urusan negara.
Sementara saat ditanya mengapa tindakan kekerasan yang dilakukan oleh masyarakat non-Islam, seperti Organisasi Papua Merdeka (OPM) tidak diberi label teroris? Irfan Idris hanya menjawab mereka (OPM) tidak membawa-bawa agama dalam perjuangannya.
“Jelas mereka (OPM) itu teroris. Namun bedanya mereka tidak membawa-bawa agama dalam perjuangannya. Sehingga tidak multi tafsir dalam pergerakan OPM. Dan OPM pun ditangani oleh aparat-aparat khusus dalam segala tindakannya,” jawabnya.
Jadi, umat Islam yang beraktivitas berdasarkan agama dianggap radikal? Adalah satu tragedi jika rakyat yang berorientasi pada penegakan syariat Islam di lembaga negara dituding sebagai kelompok radikal. Sama tragisnya bila Kitab Suci Al-Qur’an yang memerintahkan jihad untuk membela Islam diposisikan sebagai pemicu radikalisme.
Munculnya gagasan deradikalisasi agama akhir-akhir ini, dan kemudian dilembagakan menjadi BNPT (Badan Nasional Penanggulangan Terorisme), sebenarnya berangkat dari apriori dan Islamophobia. BNPT hanya alat misi Yahudi dan Nasrani untuk menjerumuskan umat Islam.
Sebelum ini, apa yang diasumsikan sebagai simbol Islam seperti memanjangkan jenggot, bercelana komprang, jidat hitam, jilbab besar, dianggap sebagai simbol kaum radikal. Sehingga, tidak sedikit tokoh Islam yang terkontaminasi dengan stigma negatif ini, lalu mencukur jenggotnya, berusaha menghilangkan tanda hitam bekas sujud di dahinya. Bahkan KH Hasyim Muzadi dengan nada satire mengatakan, “Di Indonesia kita menerima adanya waliyullah dan walisongo. Tapi kita tidak mau disebut wali jenggot.”
Begitu pun wanita-wanita Muslimah yang mengenakan jilbab besar, sering dicibir sebagai istri teroris. Tetapi tidak ada yang mempermasalahkan wanita berpakaian telanjang, presenter TV dengan memperlihatkan aurat, ketiak dan paha terbuka. Begitu pun, BNPT juga tidak menyebut radikal orang yang mengenakan kaos lambang komunis palu arit.
Lihatlah, opini yang menggiring masyarakat, secara bertahap tapi pasti. Hasilnya sangat merugikan generasi bangsa ini. Para orangtua banyak yang khawatir begitu melihat anaknya berubah menjadi baik. Seorang ibu ketakutan saat melihat anaknya liburan dari pesantrennya, karena melihat pakaian putrinya itu sangat rapi, menutup aurat sesuai syariat Islam. “Apa anak saya sudah kerasukan pemikiran radikal?”
Munculnya kekhawatiran yang salah kaprah: Anak-anak muda religius dianggap membahayakan. Ungkapan bernada curiga, “Para teroris mengancam di tengah-tengah kita. Sel-sel baru bermunculan, bersumber dari pengajian ‘Rohis’ di Masjid. Terutama masjid sekolah-sekolah dan kampus. Kumpulan mereka perlu diwaspadai dan diawasi,” kerap terdengar.
Efek buruk dan jahat ini merasuki otak dan hati para orangtua. Dan anehnya, para orangtua lebih nyaman melihat anaknya bergaul tanpa batas. Itulah yang dianggap wajar. Mereka senang melihat anaknya yang sedang kasmaran, menghabiskan waktu untuk melamun, karena dianggapnya sedang puber.
Dan akhirnya para orangtua tanpa disadari memberi ‘wejangan’. “Hati-hati kalau ngaji di masjid.” Anak-anak muda yang rumit memilah jenis pengajian, akhirnya memutuskan untuk duduk-duduk di kafe, nongkrong di jalanan, bahkan tempat-tempat dosa. Dan mereka pun jauh dari masjid.
Deradikalisasi opini memang sangat jahat. Mereka menjauhkan generasi muda dari masjid. Karena orang-orang kafir dan anti Islam sadar, bahwa kebangkitan Islam itu berawal dari kebangkitan anak-anak mudanya. Sebaliknya, orang yang berpenampilan religius dianggap rentan menjadi pengikut paham radikal.
Kriteria radikalisme versi BNPT juga bermasalah, bahkan inkonstitusional. Ada empat kriterianya, yaitu: 1. Ingin melakukan perubahan dengan cepat menggunakan kekerasan dengan mengatasnamakan agama. 2. Takfiri (mengkafirkan orang lain). 3. Mendukung, menyebarkan dan mengajak bergabung dengan ISIS/IS 4. Memaknai jihad secara terbatas.
Berbekal kriteria radikal bikinan BNPT ini, memuluskan tugas Densus 88 sebagai eksekutor: menyisir lorong-lorong sempit, rumah kos, pesantren, masjid, majelis taklim, untuk mencari tersangka teroris. Tidak peduli, yang ditemukan nanti benar-benar tersangka teroris atau sekadar persamaan identitas, sudah dianggap cukup bukti untuk ditangkap atau ditembak mati. Akhirnya, dengan tuduhan rekayasa pun, orang yang taat beragama, bisa digiring sebagai tersangka radikal.
Bung Karno dan Simbol ‘Radikalisme’
Di negara-negara berlabel demokrasi, radikalisme bahkan lebih jahat daripada yang terjadi di negeri kita. Presiden Prancis dari Partai Konservatif Nicolas Sarkozy melarang wanita Muslimah mengenakan jilbab dan burqa, karena dianggap bertentangan dengan nilai-nilai sekuler Prancis. Pemerintah Swiss menunjukkan kebenciannya terhadap Islam secara radikal, dengan melarang adanya menara masjid supaya suara azan tidak terdengar keluar masjid.
Sebelum Prancis, Jerman lebih dulu bersikap diskriminatif terhadap Islam. Tahun 2007, Pengadilan administratif Jerman mengesahkan larangan mengenakan jilbab di wilayah North Rhine-Westphalia. Sebelumnya, pengadilan yang sama juga memutuskan untuk mendukung larangan berjilbab. Dari 16 negara bagian di Jerman, delapan negara bagian menyatakan melarang jilbab. Bahkan Belanda mengesahkan sebuah undang-undang yang melarang menyembelih binatang tanpa dibius, yang sesuai prinsip memotong hewan secara Islam. Bukankah contoh di atas membuktikan kebencian kaum sekuler terhadap Islam ditunjukkan secara radikal dan anarkis?
Oleh karena itu, memaknai radikalisme menggunakan parameter antiagama, dengan mencurigai ajaran agama seperti jihad, syariat Islam, khilafah Islamiyah, sebagai kriteria radikal sangat berbahaya bagi NKRI yang berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa.
Di negeri komunis Uni Soviet pada masa Lenin berkuasa, semua lambang agama seperti masjid, bahkan makam Imam Bukhari dibekukan. Sikap antiagama negeri atheis itu memiliki benang sejarah yang menarik dengan Presiden pertama RI Bung Karno.
Pada 1959, Bung Karno berkunjung ke Uni Soviet, dia mampir di kota Sankt Petersburg. Kota ini terkenal indah, memiliki arsitektur yang memesona, dan terletak di delta Sungai Neva. Di kota ini pula berdiri istana-istana terkenal, seperti Istana Musim Panas Petergof, Istana Musim Dingin Hermitage, serta Benteng Peter dan Paul.
Saat melintasi jembatan Trinity Bridge yang berdiri di atas Sungai Neva, pandangan Soekarno tertuju pada bangunan masjid yang telah beralih fungsi menjadi gudang. Bangunan berkubah biru dengan gaya arsitektur Asia Tengah nampak megah. Dua menara kembarnya yang menjulang tinggi berhadapan dengan beberapa gereja di sekitarnya. Soekarno pun mengajak rombongan mendatangi bangunan itu.
Di bawah pemerintahan komunis Uni Soviet, seluruh masjid dan gereja yang ada di negeri beralih fungsi menjadi gudang atau museum. Di antaranya Masjid Biru, dijadikan gudang sejak Perang Dunia II. Seorang warga mengatakan bahwa kebijakan represif dari Kremlin sejak jaman Lenin, pemimpin revolusi Rusia yang menumbangkan kekuasaan Tsar, membuat masjid tersebut tak berfungsi.
Sepulang dari kunjungannya ke Masjid Biru, Soekarno kemudian bertemu Nikita Khrushchev, sang pemimpin Soviet. Saat Khrushchev bertanya bagaimana kesan Soekarno mengenai Leningrad, dia malah membahas kondisi Masjid Biru yang baru ia kunjungi. Soekarno kemudian meminta masjid ini dikembalikan sesuai fungsinya. Hanya sepuluh hari setelah kunjungan Presiden Soekarno, bangunan ini kembali berfungsi menjadi masjid.
Masjid Biru mulai dibangun pada 1910 ketika umat Islam di Rusia saat itu hanya berjumlah sekitar delapan ribu orang. Izin pembangunan masjid ini diberikan langsung oleh Tsar Nikolai II pada 3 Juli 1907 di Petergof.
Bukan itu saja yang dilakukan Bung Karno. Tahun 1961 pemimpin tertinggi Partai Komunis Uni Soviet sekaligus penguasa tertinggi Uni Soviet, Nikita Sergeyevich Khrushchev mengundang Bung Karno ke Moskow. Bung Karno bersedia berkunjung ke Moskow dengan suatu syarat yang harus dipenuhi oleh pemimpin Uni Soviet itu.
Khrushchev bertanya, “Apa syarat yang Paduka Presiden ajukan?”
Bung Karno menjawab, “Temukan makam Imam Al Bukhari. Saya sangat ingin menziarahinya.”
Khrushchev terheran-heran, siapa Imam Al-Bukhari?
Setelah mengumpulkan informasi dari orang-orang tua Muslim di sekitar Samarkand, tiga hari pencarian, pasukan elit Khrushchev menemukan makam Imam kelahiran Bukhara tahun 810 Masehi itu. Saat ditemukan, makam dalam kondisi tidak terurus.
Sebagai penggagas Nasakom, ideologi politik yang berambisi menalbis (membaurkan) antara nasionalisme, agama, komunisme, Soekarno ingin menunjukkan bahwa simbol Islam seperti masjid ataupun makam ulama bukan sesuatu yang berbahaya. Maka dia pun meminta pemerintah Uni Soviet agar segera memperbaikinya.
Soekarno bahkan sempat menawarkan agar makam Imam Bukhari dipindahkan ke Indonesia apabila Uni Soviet tidak mampu merawat dan menjaga makam tersebut. Emas seberat makam Imam Bukhari akan diberikan sebagai gantinya.
Khrushchev memerintahkan agar makam itu dibersihkan dan dipugar. Selesai renovasi, Khrushchev menghubungi Bung Karno kembali. Intinya, misi pencarian makam Imam Al Bukhari berhasil. “Baik, saya datang ke negara Anda,” jawab Soekarno.
Setelah dari Moskow, tanggal 12 Juni 1961 Bung Karno tiba di Samarkand. Sehari sebelumnya puluhan ribu kaum muslim Uni Soviet menyambut kehadiran Bung Karno di Kota Tashkent.
Di Indonesia, ali-alih pemerintah mengeluarkan kebijakan yang berorientasi untuk menuntaskan masalah radikalisme, malah menjadikan isu ini sebagai alat legitimasi kekuasaannya. Mencermati langkah kontroversial BNPT dan Densus 88, mungkinkah Indonesia akan diarahkan mengikuti gaya komunis Rusia yang memusuhi agama dan mencurigai simbol agama, sikap yang berhasil dikoreksi oleh Bung Karno di masa lalu? Atau mengekor ke negeri-negeri imperialis barat yang kental dengan Islamophobia? [Agus Basri, Irfan S Awwas]
Sumber : Risalah Mujahidin
(samirmusa/arrahmah.com)