JAKARTA (Arrahmah.com) – Mengambil pola penyelesaian model Din Minimi, konflik negara dengan kelompok bersenjata bisa dilakukan dengan negosiasi. Pengamat Terorisme Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Zaki Mubarak mengatakan pemerintah bisa mengatasi kelompok bersenjata Mujahiddin Indonesia Timur (MIT) pimpinan Santoso dengan pendekatan negosiasi.
Hal ini bisa dirujuk kepada negosiasi yang dilakukan kepada mantan kombatan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang telah meletakkan senjatanya Din Minimi.
“Seperti kasus Din Minimi di Aceh itu kan seharusnya untuk Santoso ini bisa bernegosiasi juga. Minta dia menyerahkan seluruh senjatanya yang dia miliki dan mengerahkan mobilisasi anak buahnya agar kuat kepada NKRI,” kata Zaki lansir Okezone, Jumat (25/3/2016).
Menurutnya ruang negosiasi kepada Santoso masih bisa terbuka. Ada dua cara yang bisa dilakukan dalam hal ini.
“Menurut beberapa kawan saya di sana (Poso) ruang itu masih terbuka dan digunakan dua mekanisme. Pertama soft approach itu, dengan cara membuka ruang negosiasi agar dia menyerahkan diri dan menyatakan setia kepada NKRI. Kedua, kalau memang tidak bisa ya cara yang kasar yakni tindakan militer. Intinya diperlukan penyelesaian yang cepat,” kata dia.
Dengan masuknya Santoso dalam daftar teroris paling dicari oleh Amerika Serikat, tentunya hal ini harus menjadi catatan bagi pemerintah Indonesia untuk berbenah.
“Yang terjadi pemerintah dipermalukan oleh ini dan seperti tidak menangani Santoso sehingga Amerika memunculkan Santoso sebagai sosok yang tidak bisa diselesaikan pemerintah,” pungkasnya.
Diketahui, Operasi Tinombala tahap pertama dimulai 9 Januari sampai 9 Maret 2016, yang melibatkan sedikitnya 2.500 pasukan gabungan TNI-Polri. Kemudian menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan Luhut Binsar Pandjaitan dalam kunjungannya di Kabupaten Poso, Provinsi Sulawesi Tengah, Rabu (9/3) mengatakan bahwa operasi pengejaran kelompok Santoso dengan sandi Tinombala diperpanjang selama enam bulan kedepan. Luhut menjelaskan bahwa perpanjangan operasi kembali ditetapkan, mengingat belum tuntasnya gangguan keamanan dari kelompok Santoso, yang hingga kini belum juga berhasil ditumpas termasuk target utamanya, Santoso. –
Sebelumnya Polda sulteng telah menggelar Opersi Camar Maleo I hingga IV di tahun 2015 yang belum membuahkan hasil. Kemudian dilanjutkan kembali dengan Operasi Tinombala sejal 10 Januari 2016 dengan tenggat waktu 60 hari, namun sampai saat ini target operasi Santoso Cs belum didapatkan
Dalam kurun tiga tahun terakhir, terjadi tiga kali pergantian Kepala Kepolisian Daearah (Kapolda) Sulteng, namun aksi kekerasan bersenjata di wilayah Poso tak kunjung tuntas. Operasi dalam rangka memberantas aksi dan menangkap seluruh pihak yang terlibat juga telah beberapa kali dilakukan, namun tak berbuah hasil yang menggembirakan.
Sejumlah operasi tersebut juga telah memakan korban, baik dari pihak Polri maupun TNI serta warga sipil.
Hal ini juga membuahkan kritik dari sejumlah aktivis, seperti LPS-HAM. Mereka menilai, operasi yang dilakukan hanya menghabiskan uang negara dan dinilai hanya menjadi tempat mencari kekayaan oknum
(azm/arrahmah.com)