KAIRO (Arrahmah.com) – Kepolisian Mesir telah dilaporkan menabrakkan mobilnya ke arah sekelompok pengunjuk rasa di Kairo di tengah demonstrasi anti-pemerintah besar-besaran di negara Afrika Utara tersebut.
Sebuah kendaraan polisi langsung melaju ke arah demonstran pada hari Kamis (3/2/2011), dan melukai beberapa dari mereka, situs resmi Ikhwanul Muslimin berbahasa Inggris, Ikhwanweb, melaporkan pada hari Kamis (3/2).
Sementara itu, orang-orang bersenjata menembak pengunjuk rasa di Tahrir Square menewaskan tujuh orang pada Kamis (3/2) saat para demonstran berusaha terus menekan Presiden Hosni Mubarak untuk mundur.
Jutaan orang telah berkumpul di Tahrir Square, yang telah menjadi titik fokus bagi demonstran, serta sejumlah tempat lain selama sepuluh hari berturut-turut dan meneriakkan slogan-slogan anti-pemerintah.
Pada hari Selasa (1/2), Mubarak mengumumkan melalui televisi bahwa dia tidak akan mencalonkan diri lagi untuk yang putaran pemilihan keenam. Namun, ia menolak untuk melepaskan kekuasaannya.
“Saya akan menggunakan sisa masa jabatan saya untuk memenuhi tuntutan rakyat,” katanya.
Para pengunjuk rasa melanjutkan tuntutan mereka dengan yel-yel “Pergilah, Mubarak!”
Bentrokan juga pecah antara demonstran dan pasukan keamanan di kota Alexandria tidak lama setelah pidato pengumuman Mubarak.
Kelompok oposisi Mesir menyerukan mangkatnya Mubarak dari posisinya sebagai presiden. Mereka menuntut terbentuknya parlemen baru dan perubahan konstitusi.
Sebanyak 300 orang dilaporkan tewas, dan ribuan lainnya terluka, dalam bentrokan antara pasukan keamanan dan pengunjuk rasa di Kairo dan kota-kota Mesir lainnya selama seminggu terakhir.
“Korban terus meningkat setiap hari,” tutur Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia, Navi Pillay, pada hari Selasa (1/2).
Gerakan oposisi utama Mesir, Ikhwanul Muslimin, telah mengecam PBB dan negara-negara Barat karena tidak mencoba menghentikan rezim Mubarak yang penggunaan kekerasan berlebihan terhadap demonstran.
Revolusi di Mesir ini merupakan efek domino dari salah satu peristiwa bersejarah di Tunisia, yang memaksa Presiden Zine El Abidine Ben Ali untuk menyerahkan kekuasaan dan melarikan diri setelah 23 tahun berkuasa secara otoriter di negeri tersebut. (althaf/arrahmah.com)