JAKARTA (Arrahmah.com) – Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan menolak permohonan uji materi pasal 1, 2, dan 3 UU 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan atau Penodaan Agama yang diajukan sejumlah penganut Ahmadiyah.
Keputusan ini dibacakan dalam sidang putusan yang digelar di Gedung MK, Jakarta Pusat, Senin (23/7).
“Mengadili, menolak permohonan para pemohon untuk seluruhnya,” kata Ketua MK, Anwar Usman yang membacakan putusan tersebut dalam sidang vonis di Gedung MK Jakarta, Senin (23/7/2018).
Salah satu alasan mendasar penolakan itu bahwa agama tidak boleh ditafsirkan oleh siapa pun secara bebas.
Sebagaimana dilansir Kiblat.net, dalam perkara gugatan Ahmadiyah atas Undang-undang Nomor 1 PNPS tahun 1965, Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) mengajukan diri sebagai pihak yang kontra.
Seusai sidang putusan yang digelar Senin (24/07/2018), Kuasa Hukum DDII Ahmad Leksono menjelaskan ada 3 alasan mendasar Hakim MK menolak gugatan Ahamadiyah.
“Alasan pertama MK adalah penafsiran terhadap UU harus disesuaikan dengan norma agama yang berlaku di Indonesia, khususnya agama Islam. Kedua, norma agama tidak boleh ditafsirkan oleh siapapun secara bebas. Dan ketiga, norma agama selarasa dengan faktor internum dan eksternum yang telah terjadi dan dilaksanakan di Indonesia,” jelas Laksono di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta Pusat, Senin (23/7).
Tiga alasan itu, lanjut Leksono, merupakan satu nafas dalam putusan majelis hakim MK, sehingga gugatan kelompok Ahmadiyah sepatutnya ditolak. Dia berharap dengan adanya putusan tersebut stabilitas negara, stabilitas agama, dan masyarakat akan tetap terjaga.
“MK menegaskan, Undang-Undang PNPS Pasal 1, 2 dan 3 bukan penyelundupan hukum. Justru, MK mengatakan kebebasan itu sudah diatur dalam norma-norma hukum,” tegasnya.
Leksono pun bersyukur bisa turut terlibat dalam proses mempertahankan Undang-undang PNPS tahun 1965 ini. Menurutnya, putusan MK dalam perkara itu menegaskan adanya peran negara agar kebebasan itu sesuai dengan norma yang ada di Indonesia.
Sebelumnya, sejumlah penganut Ahmadiyah mengajukan uji materi kepada MK terkait frasa penodaan agama dalam pasal asal 1, 2, dan 3 UU 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan atau Penodaan Agama multitafsir.
Mereka mengajukan gugatan dengan alasan frasa penodaan agama dalam pasal tersebut multitafsir sehingga kerap dimanfaatkan pihak berwenang menutup rumah ibadah para Jamaah Ahmadiyah. Hal ini bertentangan dengan UUD 1945 dan menimbulkan kerugian konstitusional.
MK menyatakan para pemohon tidak beralasan menurut hukum karena pokok persoalan bukan pada berlakunya pasal 1, 2, dan 3 UU 1/PNPS/1965, tetapi pada pembuatan aturan turunan seperti Surat Keputusan Bersama (SKB) atau pemberlakuan Peraturan Daerah (Perda).
(ameera/arrahmah.com)