JAKARTA (Arrahmah.id) – Mahkamah Konstitusi atau MK, menolak gugatan yang diajukan oleh Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Ferry Joko Yuliantono dan juga mantan Panglima TNI Jenderal TNI (Purn) Gatot Nurmantyo, terkait dengan ambang batas pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden.
Pembacaan putusan terhadap gugatan tersebut, diputuskan secara terpisah pada masing-masing penggugat.
Dalam putusannya, MK menyebut bahwa pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan tersebut.
Walau dalam kapasitasnya, seperti pemohon Ferry bukan atas nama Partai Gerindra, sehingga tidak melampirkan persetujuan partai.
“Berdasarkan UU Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 dan seterusnya. Amar putusan, mengadili menyatakan permohonan pemohon tidak dapat diterima,” kata Ketua Majelis Hakim Anwar Usman, dalam pembacaan amar putusan, Kamis (24/2/2022), lansir VIVA.
MK beranggapan, persoalan jumlah pasangan capres dan cawapres yang akan berkontestasi dalam pemilu, tidak ada korelasinya dengan norma Pasal 222 UU Nomor 7 tahun 2017. Karena tidak membatasi jumlah pasangan capres dan cawapres.
Meski demikian, ada empat hakim yang menyatakan disenting opinion atau pendapat berbeda. Yakni Hakim Manaham MP Sitompul, Hakim Enny Nurbaningsih, Hakim Suhartoyo, dan Hakim Saldi Isra.
Mantan Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo mengajukan permohonan uji materi terhadap ketentuan ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold yang tercantum dalam Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) ke Mahkamah Konstitusi.
Gugatan didaftarkan ke Mahkamah Konstitusi pada 9 Desember 2021 bernomor 63/PUU/PAN.MK/AP3/12/2021. Gatot Nurmantyo menunjuk kantor hukum Refly Harun & Partners sebagai pihak kuasa hukum.
Dalam gugatannya, pemohon mempersoalkan ketentuan Pasal 222 UU Pemilu yang menyatakan ‘Pasangan Calon diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik Peserta Pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% (dua puluh lima persen) dari suara sah secara nasional pada Pemilu anggota DPR sebelumnya’
Ketentuan Pasal 222 UU Pemilu itu dinilai telah melanggar ketentuan Pasal 6A Ayat (2) UUD 1945, karena telah mengakibatkan Pemohon kehilangan hak konstitusionalnya untuk mendapatkan sebanyak-banyaknya calon pemimpin bangsa (presiden dan wakil presiden) yang dihasilkan partai politik peserta Pemilu.
Penggunaan ambang batas untuk mengajukan calon presiden dan wakil presiden (presidential threshold) potensial mengamputasi salah satu fungsi partai politik, yaitu menyediakan dan menyeleksi calon pemimpin masa depan (vide Putusan Mahkamah Nomor 53/PUU-XV-2017, 11 Januari 2018).
“Bahwa partai politik dalam melaksanakan hak konstitusionalnya mengusung pasangan calon presiden dan wakil presiden seringkali mengabaikan kepentingan rakyat untuk menghadirkan sebanyak-banyak calon pemimpin bangsa dan lebih banyak mengakomodir kepentingan pemodal (oligarki politik),” tulisnya dalam pokok perkara.
(ameera/arrahmah.id)