JAKARTA (Arrahmah.com) – Mahkamah Konstitusi memutuskan menolak gugatan Undang-undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang diajukan kelompok buruh. Namun undang-undang itu harus diperbaiki hingga dua tahun ke depan.
“Mengadili dalam provisi, satu, menyatakan permohonan provisi Pemohon I dan Pemohon II tidak dapat diterima. Dua, menolak permohonan provisi Pemohon III, Pemohon IV, Pemohon V, dan Pemohon VI,” kata Ketua MK merangkap Ketua Majelis Hakim Anwar Usman saat membacakan amar putusan, Kamis (25/11), lansir CNN Indonesia.
“Dalam pokok permohonan, satu, menyatakan permohonan Pemohon I dan Pemohon II tidak dapat diterima. Dua, mengabulkan permohonan pemohon III, Pemohon IV, Pemohon V, dan pemohon VI untuk sebagian,” lanjutnya.
Dalam pokok permohonan, majelis hakim juga menyatakan pembentukan UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai “tidak dilakukan perbaikan dalam waktu 2 tahun sejak putusan ini diucapkan.”
“Menyatakan UU Nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja masih tetap berlaku sampai dengan dilakukan perbaikan pembentukan sesuai dengan tenggang waktu sebagaimana yang telah ditentukan dalam putusan ini,” kata Anwar.
Majelis hakim konstitusi juga memerintahkan kepada pembentuk UU untuk melakukan perbaikan dalam jangka waktu paling lama dua tahun sejak putusan ini diucapkan.
Apabila dalam tenggang waktu tersebut tidak dilakukan perbaikan, maka UU Cipta Kerja menjadi inkonstitusional secara permanen.
Massa aksi dari kelompok buruh ikut mendengarkan sidang putusan MK terkait Uji Materi UU Cipta Kerja di Kawasan Patung Kuda, Kamis (25/11).
Massa aksi dari Konfederasi Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (KSBSI) memutuskan untuk mendengarkan sidang putusan tersebut dari depan Gedung Sapta Pesona lantaran terhadang kawat duri milik kepolisian.
Diketahui, pada November 2020, KSPI resmi mengajukan permohonan uji materi UU Cipta Kerja ke MK.
Permohonan itu teregistrasi pada 12 November 2020 dengan Nomor Perkara: 101/PUU-XVIII/2020.
Dalam gugatannya, buruh menuntut agar hakim konstitusi mencabut atau membatalkan UU Cipta Kerja yang ditetapkan pada Oktober 2020.
Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) selaku penggugat menilai UU Cipta Kerja cacat prosedur dari tahap awal hingga penetapannya.
Presiden KSPI Said Iqbal menilai kecacatan formil diawali dengan tidak dilibatkannya serikat buruh dalam perencanaan, pembentukan, hingga penetapan aturan tersebut.
Selain itu, UU Cipta Kerja diubah berkali-kali baik dari segi halaman maupun pasal-pasal yang ada. Ia menduga ada perubahan substansi pasal, sebab saat ditanya majelis hakim keterangan pemerintah dan DPR dinilai berbelit-belit.
Selain KSPI, beberapa serikat buruh juga mengajukan permohonan uji materi, yakni Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI), Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI), Federasi Serikat Pekerja Farmasi dan Kesehatan Reformasi.
Gugatan yang diajukan buruh dalam UU Cipta Kerja ini terkait perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT). Dalam hal ini penghapusan aturan perjanjian kerja kontrak dapat diadakan paling lama 2 tahun dan hanya bisa diperpanjang dua kali.
Buruh juga menggugat UU Cipta Kerja soal pekerjaan alih daya (outsourcing), waktu kerja, cuti untuk pekerja, upah dan upah minimum.
Selain itu, gugatan terkait pemutusan hubungan kerja (PHK), penghapusan sanksi pidana bagi pengusaha yang tidak memberikan uang pesangon, uang penghargaan dan uang pengganti hak kepada pekerja atau buruh yang di PHK dan tidak diikutsertakan dalam program pensiun.
(ameera/arrahmah.com)