JAKARTA (Arrahmah.com) – Majelis Intelektual dan Ulama Muda Indonesia (MIUMI) mengencam keras perayaan hari raya besar Syiah yang akan diselenggarakan pada Sabtu (26/10) di Gedung Smeco, Jakarta. Dalam pandangan mayoritas umat Islam Indonesia yang menganut Ahlu Sunnah wal Jamaah, hanya ada dua hari raya besar, yakni Hari Raya Idul Fitri dan Hari Raya Idul Adha.
Sekjen MIUMI Ustadz Bachtiar Nasir menilai perayaan Idul Ghadir sebagai aktivitas kelompok Syiah Indonesia yang berupaya memecah belah umat Islam. Hal itu disebabkan perayaan Idul Ghadir merupakan pelestarian dan perayaan kebencian dan dendam Syiah kepada para sahabat Nabi Muhammad SAW yang terkemuka, yakni Abu Bakar Ash-Shiddiq, Umar bin Khattab dan Utsman bin Affan.
Perayaan Hari Raya Idul Ghadir ini semakin membuktikan bahwa Syiah memang satu aliran yang secara mendasar berbeda dengan kaum Muslim lainnya. Penolakan dan penistaan kepada para sahabat Nabi yang utama justru dirayakan sebagai ibadah yang agung menjadi Hari Raya tersendiri. Mereka menganggap Idul Ghadir adalah hari raya terbesar yang melebihi keagungan ‘Idul Fithri dan ‘Idul Adha. ‘Idul Ghadir adalah sebuah perayaan atas anggapan mereka mengenai pengangkatan Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu ‘Anhu sebagai khalifah di kebun Ghadir Khum.
Menurut pemuka Syiah, Idul Ghadir adalah hari ketika Nabi Shallallahu alaihi wa Sallam menunjuk Ali bin Abi Thalib menjadi Khalifah penerus kepemimpinan umat setelah wafatnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa Sallam. Yang kata mereka Jibril turun menyampaikan wahyu kepada Nabi berkenaan dengan hal ini, bahkan Idul Ghadir menurut mereka adalah Hari Raya terbesar. (Lihat Idul Ghadir A’zhamul A’yad fil Islam/ Idul Ghadir Hari Raya Terbesar dalam Islam, karangan Sayyid Muhammad Husain Al-Syirazi, hal. 12).
Para ulama dan sejarawan muslim terkemuka mencatat, tradisi selebrasi Idul Ghadir baru dimulai sejak era Daulah Buwaihi menguasai sebagian wilayah Irak di abad ke-4 H. Itu artinya perayaan tersebut tidak pernah dilakukan oleh kaum muslimin di zaman Rasulullah SAW dan para sahabatnya hidup, maupun di era tabi’in dan tabi’ tabi’in yang disebutkan oleh Rasul bahwa mereka adalah 3 periode Islam yang terbaik. “Khairunnasi qorni tsumma al-ladzina yaluunahum tsumma al-ladzina yaluunahum”. Bahkan tidak pula diperingati pada saat AmirulMu’minin Ali bin Abi Thalib ra berkuasa pasca syahidnya Sayidina Utsman bin Affanra.
“Perayaan Hari Raya Idul Ghadir itu memang tidak ada dalilnya dalam Islam,” tegas Prof. Dr. Mohammad Baharum, pakar tentang Syiah dari MUI Pusat.
Itu bisa dipahami bahwa perayaan Idul Ghadir ini adalah suatu rekayasa kelompok Syi’ah. Nabi saw bersabda: “Siapa yang mengada-ada dalam urusan agama kami ini sesuatu yang bukan bagian darinya, maka hal itu tertolak” (HR. Muslim)
Keyakinan adanya pelantikan Ali di Ghadir Khum, telah dibantah oleh seluruh ulama sahabat, tabiin dan generasi setelahnya. Peristiwa itu tidak pernah diriwayatkan di dalam kitab-kitab hadis yang sahih seperti al-Bukhari dan Muslim. Hadis Ghadir Khum “Man kuntu mawlahu fa ‘Aliyyun mawlah” dengan redaksi yang berbeda-beda diriwayatkan oleh Ahmad, Tirmidzi dan Al-Hakim. Menurut para ulama, teks hadis itu sebatas keutamaan Ali dan bukan pengangkatan khalifah sesudah beliau. Teks hadis itu jelasnya bukan kepemimpinan umat (al-wilayah/al-imarah), melainkan kasih sayang dan tolong menolong yang muncul dari dua pihak (al-walayah/al-muwalah yang darinya berasal kata ‘al-waliyyu’ dan ‘al-mawla’ sebagaimana teks hadis, ed.).
Jika teks hadis itu menegaskan (sharih) tentang pelantikan Ali sebagai khalifah setelah Rasulullah, pasti sudah digunakan sebagai dalil dan hujjah oleh Ali bin Abi Thalib saat Rasulullah wafat sebelum pengangkatan Abu Bakr ra sebagai khalifah, atau pada saat musyawarah enam tokoh sahabat setelah wafatnya Amirul Mukminin Umar bin Al-Khattab ra untuk menetapkan khalifah baru, dan juga telah dijadikan dalil oleh Abu Musa Al-Asy’ari ra untuk memantapkan posisi Khalifah Ali pada saat peristiwa Tahkim (arbitrase) antara Khalifah Ali dan Mu’awiyah pasca perang Shiffin. Namun tak ada satu sahabat pun, termasuk Ali yang memahaminya demikian. Sahabat adalah orang yang paling memahami maksud perkataan Rasul dan kemurnian bahasa Arab mereka tidak diragukan lagi. Pemahaman ulama sahabat yang menjadi ijma’ adalah bentukkepastianpetunjuk(Qoth’iyDilalah) dalam memahami Al-Qur’an dan hadits.
Karena sifat ajarannya yang sangat destruktif dan dilandasi dengan semangat kebencian terhadap tokoh-tokoh panutan umat Islam, seperti Abu Bakar ash-Shiddiq r.a. dan para sahabat Nabi lainnya – sangat aneh jika pemerintah SBY mendukung acara tersebut. Acara seperti ini jelas memecah belah umat Islam dan menistakan agama Islam.
Sudah sangat gamblang, hari raya umat Islam di Indonesia dan seluruh dunia hanya 2 yaitu Idul Fitri dan Idul Adha. Diluar kedua hari raya itu jelas suatu bid’ah agama yang sesat. Ia bukan hanya merusak akidah umat Islam Indonesia, tetapi juga mengancam keutuhan dan persatuan umat Islam di Indonesia ini yang meyakini dan mengamalkan akidah ahlusunnah wal jama’ah. Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat sejak lama telah mengukuhkan hal tersebut dengan menegaskan bahwa “mayoritas umat Islam Indonesia adalah penganut paham Sunni (Ahlu Sunnah wal Jama’ah) yang tidak mengakui dan menolak paham Syi’ah secara umum dan ajarannya tentang nikah mut’ah secara khusus“ (Fatwa Nikah Mut’ah 25 Oktober 1997, lihat Himpunan Fatwa MUI: 376).
(azmuttaqin/miumi/arrahmah.com)