(Arrahmah.id) – (Terlepas dari kenyataan bahwa ada banyak bukti sebaliknya, dalam literatur populer Anda masih dapat menemukan klaim bahwa Perpustakaan Alexandria dihancurkan oleh orang-orang Arab pada 642 atas perintah Khalifah Umar setelah penaklukan kota. Kisah ini adalah contoh menarik tentang bagaimana mitos sejarah muncul.
-Bernard Lewis-)
Orientalis Inggris Edward Pocock adalah orang yang pertama kali memperkenalkan kisah penghancuran Perpustakaan Aleksandria oleh Umar Bin Khattab ke dunia Barat. Diceritakan bahwa meskipun Amru Ibnu Al Ash menentang, Khalifah Umar tetap memerintahkan untuk menghancurkan perpustakaan, dengan mengatakan: “Jika buku-buku ini mengatakan apa yang ada di dalam Al Quran, maka buku-buku ini tidak berguna. Jika mereka mengatakan sesuatu yang lain, maka mereka berbahaya”. Karena itu, dalam kedua kondisi ini, mereka harus dibakar. Setelah itu, diduga, buku-buku itu kemudian dibagikan kepada 4 ribu pemandian air panas sebagai bahan bakar selama enam bulan.
Kembali pada 1713, orientalis Prancis Evseny Renaudot menyatakan keraguannya akan kredibilitas cerita ini. Selanjutnya, ilmuwan seperti Edward Gibbon, Alfred J. Butler, Victor Chauvin, Eugenio Griffini, Paul Casanova dan banyak lainnya setuju dengan pendapatnya. Sebagai argumen, mereka mengutip inkonsistensi versi ini dengan fakta sejarah. Misalnya, kertas muncul di Mesir setelah penaklukan Arab, dan bisa dikatakan sebagian besar buku-buku pada periode itu ditulis di atas perkamen yang tidak terbakar. Di sisi lain, untuk memanaskan bak di pemandian umum selama 6 bulan, perpustakaan harus memuat setidaknya 14 juta buku.
Ada detail menarik lainnya. Sejarawan abad ke-14 Ibnu Khaldun mengutip sebuah cerita yang cocok dengan cerita ini hampir kata demi kata bahwa Khalifah Umar memerintahkan penghancuran sebuah perpustakaan yang ditemukan di Iran dan mungkin terdiri dari buku-buku Zoroaster. Sepertinya dari sinilah mitos tersebut berasal.
Argumen terkuat adalah bahwa sumber cerita tidak kredibel dan dibuat berabad-abad setelah penaklukan Arab atas Mesir. Informasi paling awal diberikan dalam buku perjalanan cendekiawan Baghdad Abd Al Latif, yang mengunjungi Mesir pada 1203, dan juga dalam “Tarikh Al-Huqama” Ibnu Al Kifti (1173-1248). Pada saat yang sama, peristiwa dramatis seperti penghancuran Perpustakaan Aleksandria tidak dicatat dan disebutkan tidak hanya dalam literatur sejarah Islam abad pertengahan, tetapi juga dalam tulisan-tulisan Koptik, catatan gereja, dan bahkan dalam literatur sejarah Bizantium dan Yahudi pada masa itu.
Biasanya, mitos semacam ini muncul dalam dua cara untuk meraih salah satu dari dua tujuan. Yang pertama muncul secara spontan, seperti cerita rakyat, epik, dan yang kedua disengaja, dengan dukungan bukti palsu. Mitos yang diciptakan dengan cara kedua berfungsi untuk membenarkan atau mendiskriminasikan seseorang, perbuatan atau tindakan. Dalam istilah modern, ini bisa disebut “propaganda.”
Untuk alasan ini, orang mungkin bertanya-tanya apa yang diinginkan oleh mitos penghancuran Perpustakaan Aleksandria. Penjelasan bahwa tujuannya adalah untuk mencemarkan nama baik Islam dan Khalifah Umar adalah tidak logis, karena sumber aslinya adalah milik Muslim, dengan pengecualian dari catatan seorang penganut Kristen keturunan Suriah, Bar-Ebrey (1226-1289), yang menulis ulang kisahnya dari sebuah buku karya penulis muslim.
Jadi, jika mitos ini disebarkan oleh umat Islam sendiri dan bukan oleh musuh mereka, apa tujuannya? Salah satu versi yang paling meyakinkan diungkapkan oleh Paul Casanova. Dia memfokuskan pada era kemunculan mitos ini – pergantian abad ke-12 ke abad ke-13. Ini adalah masa kegemilangan Salahuddin Al Ayyubi, yang dikenal tidak hanya karena kemenangannya atas tentara salib, tetapi juga, mungkin lebih penting dari sudut pandang Muslim, kemenangan atas dinasti Fatimiyah Mesir, yang doktrin Ismaili-nya telah mengancam persatuan Islam selama berabad-abad.
Setelah pemulihan Sunni di Kairo, hal pertama yang dilakukan Salahuddin adalah memerintahkan agar barang-barang berharga dan harta yang dikumpulkan oleh Fatimiyah untuk dijual di pelelangan umum. Di antaranya ada perpustakaan, yang berisi berbagai literatur Ismaili. Penghancuran sebuah perpustakaan, meskipun berisi buku-buku sesat, bagaimanapun dapat menemui penolakan dari masyarakat yang beradab dan berbudaya. Dan mitos yang disebutkan memberikan preseden. Menurut interpretasi ini, pesan dari kisah penghancuran Perpustakaan Aleksandria bukanlah bahwa Khalifah Umar adalah seorang barbar, tetapi tindakannya dapat membenarkan penghancuran perpustakaan Fatimiyah.
Dengan demikian, kita dapat dengan yakin menyatakan bahwa waktunya telah tiba untuk membebaskan Umar Bin Khattab dan Amru Ibnu Al Ash dari tuduhan yang merupakan hasil disinformasi yang diluncurkan oleh para pengikutnya dan kemudian digunakan oleh lawan-lawannya. (zarahamala/arrahmah.id)