Oleh : Yuliyati Sambas, S.Pt
(Arrahmah.com) – Tahu tempe dipandang makanan yang relatif murah, terjangkau oleh semua kalangan. Kandungan nutrisinya baik, juga tidak memerlukan proses memasak yang rumit dan tidak membutuhkan energi banyak untuk mengolahnya. Apalagi di masa serba sulit saat ini, bagi-bagi keuangan untuk kebutuhan makan, pakaian dan tempat tinggal yang layak, pendidikan anak, hingga kesehatan keluarga mesti diperhitungkan dengan cermat agar semua bisa terpenuhi. Namun apa jadinya jika tahu tempe tiba-tiba menghilang di pasaran?
Di momen pergantian tahun kemarin selama 3-4 hari kuliner khas Indonesia tersebut mendadak raib di berbagai daerah. Termasuk di Bandung Jawa Barat. Diberitakan oleh PRFMNEWS (2/1/2021) bahwa dikarenakan harga kedelai sebagai bahan baku inti pembuatan tahu tempe naik sangat tajam, produksi tahu di beberapa daerah mengalami guncangan. Para pengrajin tahu di Bandung pun terpaksa menghentikan produksinya sementara waktu.
Kementerian Perdagangan mengkonfirmasi bahwa tingginya harga kedelai dalam negeri merupakan imbas dari melonjaknya harga kedelai global. Dimana penyebab utamanya adalah tingkat impor kedelai China kepada Amerika Serikat sebagai negara eksportir terbesar dunia mengalami kenaikan beberapa bulan belakangan. Hal itu mengakibatkan berkurangnya stok kontainer-kontainer kedelai di beberapa pelabuhan Amerika. (CNBC Indonesia, 3/1/2021)
Efek Domino Instabilitas Harga Kedelai
Di level pengrajin tahu tempe mahalnya kedelai memunculkan simalakama. Antara menaikkan harga/mengurangi ukuran produk atau tetap bertahan dengan mekanisme awal dimana tentu berkonsekuensi merugi dan tinggal menunggu hitungan waktu akhirnya gulung tikar.
Efek dominonya sampailah pada masyarakat luas. Sebagai konsumen tentu menjadi pihak akhir yang mengecap dampak instabilitas harga kedelai tersebut. Ditambah dengan ujian pandemi, di saat keuangan keluarga bukannya bertambah justru kian terpangkas. Kenaikan harga tahu tempe menjadi beban tersendiri.
Ketika Impor Dijadikan Pintu Utama Pengadaan Kedelai
Mahalnya bahan baku kedelai di tingkat global bukan kali ini saja terjadi, namun antisipasi untuk menghindarinya seolah selalu menemui jalan buntu. Impor kerap dijadikan pintu utama menutupi sebagian besar kebutuhan kedelai dalam negeri. Produktivitas pertanian lokal yang rendah sering dijadikan alasan atas ketergantungan negeri ini pada kedelai impor.
Padahal jika mau kita runut dari awalnya, setidaknya berikut inilah yang terjadi. Di tingkat petani, kita sering mendapat kabar miris betapa gairah menanam/bertani kian hari makin terjun bebas. Hal ini disebabkan banyak problem membelitnya, di antaranya:
- Konversi lahan pertanian demikian masif terjadi akhir-akhir ini menyebabkan luas lahan pertanian kian menyempit digantikan oleh industri dan mega proyek perumahan.
- Problem lingkaran setan berupa pemodalan pun kerap menjadikan petani megap-megap menjalankan usahanya. Kebutuhan vital petani berupa pupuk, benih dan pestisida tidak mendapat perhatian yang cukup dari pemerintah. Besaran subsidinya kian disunat, problem kelangkaan pun masih sering ditemui.
-
Minimnya tingkat pengetahuan petani yang kerap menggunakan segala pestisida/bahan kimiawi perusak lahan mengakibatkan penurunan produktivitas lahan tak terhindarkan.
-
Persoalan regenerasi petani pun kian menjadi-jadi. Budaya serba instan mengalihkan ketertarikan kaum muda lebih pada sektor industri. Di benaknya tertancap pemikiran lebih mudah dan keren jadi karyawan di pabrik dibanding harus berjibaku dengan kotor dan beratnya mengurus lahan pertanian.
-
Beratnya persaingan dengan importir besar skala internasional. Ibarat masuk pada arena ring tinju tanpa ada aturan kelas, antara kelas ringan, bulu, bantam, berat semua bermain di arena yang sama. Menjadikan petani lokal dengan modal pas-pasan terkapar menggelepar menghadapi dahsyatnya pertandingan tak sebanding.
Dari semua faktor di atas memunculkan ketidak mandirian negara dalam pengadaan kedelai juga bahan pangan lainnya. Impor pangan termasuk di antaranya kedelai senantiasa dijadikan primadona kebijakan.
Kapitalisme Demokrasi Biang Kemandirian dan Ketahanan Pangan kian Jauh dari Pandangan
Jika mau jujur, prinsip kapitalisme demokrasilah biang kisruh yang selama ini terjadi. Dimana impor sesungguhnya merupakan bentuk penghambaan negeri ini pada arahan kapitalisme global. Dengan masuknya pada mekanisme pasar bebas yang didiktekan penguasa dunia, maka menjadi sebuah kewajiban negara ini meratifikasi arah kebijakannya. Tak heran, meski permainan harga global kerap terjadi, mustahil keran impor diperkecil terlebih distop. Beragam argumen tak berdasarlah yang kerap di-blow up sebagai bentuk pembenaran.
Ditambah dengan kenyataan bahwa sistem demokrasi menjadikan penguasa negeri ini tersandera politik kepentingan. Mahalnya ongkos demokrasi menghasilkan simbiosis mutualisme antara penguasa dengan para pengusaha skala lokal hingga internasional. Maka tentunya mereka akan selalu memberikan bentuk terimakasihnya dengan jalan memuluskan semua yang menjadi kepentingan para kapitalis. Meski tebusannya dengan menjadikan kemandirian dan ketahanan pangan kian jauh dari pandangan.
Islam Memberi Solusi Menyeluruh
Sebagai agama yang komprehensif, Islam memiliki seperangkat aturan yang bersifat spiritual dan politis, mahdhah dan ghayr mahdhah. Dua ranah ini saling menguatkan dengan asas yang kokoh berupa akidah laa Illaha illallah Muhammad arrasulullah.
Di ranah spiritual, Islam mengajarkan kepada semua pemeluknya untuk berlaku adil, menempatkan segala sesuatu sesuai dengan porsi yang tepat berdasarkan timbangan syariat. Seorang pemimpin tidak akan berani berlaku zalim dalam mengurus rakyatnya. Ia akan memberikan semua hak rakyat berupa terciptanya kesejahteraan dan keadilan. Adapun rakyat akan memberikan ketaatan terbaik bagi setiap kebijakan penguasa. Mereka pun mencintai penguasa dengan senantiasa mendoakan kebaikan bagi setiap urusannya.
Di ranah politis negara berkewajiban menyelenggarakan kebijakan-kebijakan demi sebesar-besar kemaslahatan rakyat berbingkai syariat. Dalam rangka mewujudkan ketahanan pangan, syariat memiliki langkah-langkah politis yang lengkap. Berbekal perintah Allah bahwa haram hukumnya kaum muslimin berada di bawah bayang dominasi kaum kafir (QS. An-Nisa ayat 141), negara akan mengupayakan kemandirian/kedaulatan pangan bagi semua rakyat. Prinsip pengadaan/produksi dan pendistribusian yang cukup dan merata bagi individu per individu rakyat adalah targetnya. Pengadaan pangan dimulai dari melakukan upaya supporting di bidang pertanian dan industri yang berkenaan dengannya.
Negara akan mendukung dari sisi pengadaan semua sarana dan prasarana pertanian agar mudah diakses oleh para petani. Urusan modal usaha pertanian pun menjadi perhatian negara. Dengan mekanisme memberi atau meminjamkan modal tanpa bunga kepada petani yang membutuhkan. Sarana dan suplay air sebagai hal vital akan dibangun dan dialirkan oleh negara ke lahan-lahan pertanian secara gratis. Penelitian-penelitian untuk menemukan formula terbaik di bidang pertanian akan selalu digencarkan dan didanai oleh negara dari kas baitulmal. Itu dari upaya intensifikasi pertanian.
Adapun dari upaya ekstensifikasi pertanian, negara akan memberi kebijakan berupa perluasan lahan pertanian. Dengan membuka lahan-lahan baru dan melalui mekanisme syariat ihyaul mawat (menghidupkan lahan mati). Dimana masyarakat yang tak memiliki lahan namun siap untuk mengolahnya, maka negara akan memberikan lahan yang telah mencapai tiga tahun tidak diolah oleh pemiliknya.
Dengan menjalankan syariat Islam baik di sisi politis maupun spiritual niscaya ketergantungan negeri ini pada impor pangan tak akan lagi terjadi. Swasembada pangan pun akan mampu diraih. Tak akan ada lagi kasus tahu tempe menghilang di pasaran.
(*/arrahmah.com)