BAGHDAD (Arrahmah.com) – Misi tempur koalisi pimpinan Amerika Serikat melawan ISIL (ISIS) di Irak telah resmi berakhir, menurut penasihat keamanan nasional Irak, dikutip Al Jazeera.
Pengumuman pada Kamis (9/12/2021) oleh Qassim al-Araji mengikuti putaran terakhir pembicaraan teknis di ibukota Irak untuk secara resmi mentransisikan misi tempur menjadi misi pendampingan pasukan Irak.
“Kami secara resmi mengumumkan akhir dari misi tempur pasukan koalisi,” tulis al-Araji di Twitter.
“Hubungan dengan koalisi internasional berlanjut di bidang pelatihan, pemberian nasihat, dan pengembangan kapasitas” pasukan Irak,” tambahnya.
AS tidak segera mengkonfirmasi akhir dari misi tempur, meskipun juru bicara Pentagon John Kirby mengatakan pada Rabu (8/12) bahwa Washington akan “menegakkan komitmen kami, termasuk bahwa tidak akan ada pasukan AS dengan peran tempur pada akhir tahun”.
Brigadir Jenderal Peshmerga Kurdi Irak Hazhar Ismail, yang menghadiri pertemuan di Baghdad, juga mengatakan kepada wartawan bahwa koalisi pimpinan AS mengatakan siap untuk mengakhiri misi lebih cepat dari tenggat waktu sebelumnya.
“Mereka bilang kami siap mulai hari ini,” katanya.
Masih belum jelas bagaimana akhir misi tempur, rencana yang diumumkan Presiden AS Joe Biden pada Juli setelah bertemu Perdana Menteri Irak Mustafa al-Kadhimi, akan mempengaruhi kondisi di lapangan.
Ada sekitar 2.500 tentara AS dan 1.000 tentara koalisi lainnya yang saat ini berbasis di Irak. AS menginvasi negara itu pada tahun 2003 di tengah “perang global melawan teror”, mencapai puncaknya sekitar 170.000 tentara di negara itu pada tahun 2007 sebelum menarik pasukan pada tahun 2011.
Pasukan AS dikerahkan kembali ke Irak pada tahun 2014 sebagai tanggapan atas kebangkitan ISIL, ketika kelompok itu menyerbu sebagian besar wilayah di Irak dan Suriah.
Namun, pasukan AS sebagian besar telah bertindak sebagai penasihat dan pelatih sejak pertengahan 2020, ketika mereka berhenti terlibat langsung dalam operasi tempur. Sebanyak 900 tentara AS lainnya tetap berada di Suriah, meskipun penarikan mereka tidak diperkirakan dalam waktu dekat.
Pasukan keamanan Irak masih membutuhkan dukungan udara koalisi dalam operasi anti-ISIL mereka dan untuk pengumpulan intelijen, menurut pejabat keamanan Irak dan Kurdi. Mereka juga membutuhkan bantuan untuk memelihara persenjataan dan peralatan yang disediakan AS.
Penarikan itu menyusul kampanye bertahun-tahun oleh faksi-faksi Syiah yang bersekutu dengan Iran di parlemen Irak dan kelompok-kelompok bersenjata berpengaruh yang bersekutu dengan Iran yang sebagian membentuk Pasukan Mobilisasi Populer (PMF) – serangkaian kelompok yang berada di bawah naungan pemerintah Irak, tetapi beroperasi secara terpisah dari angkatan bersenjata negara tersebut. Mereka semakin menyerukan pengurangan peran militer AS di negara itu.
Di jejaring sosial, kelompok yang dekat dengan faksi pro-Iran telah mengeluarkan ancaman dan mengingatkan Washington tentang batas waktu 31 Desember.
Dalam beberapa bulan terakhir, puluhan serangan roket dan pesawat tak berawak telah menargetkan pasukan dan kepentingan AS di Irak. Jarang diklaim, AS secara sistematis menyalahkan serangan pada faksi Irak pro-Iran. (Althaf/arrahmah.com)