GOHONG (Arrahmah.com) – Indonesia adalah produsen minyak sawit tertinggi dunia, tapi itu telah menyebabkan perampasan tanah dan kekerasan terhadap masyarakat adatnya.
Anang Sugito (47), berdiri di depan kerumunan 100 orang. Ia menunjuk ke peta di dinding. Suaranya pecah ketika ia berbicara tentang masa depan desa Dayak, lansir Al Jazeera.
“Jika kita menjual hutan kita, anak-anak kita tidak akan memiliki lahan. Mereka akan memiliki anak-anak mereka sendiri, dan apa yang akan mereka lakukan?” Tanya Sugito, sekretaris desa untuk 7.000 kepala rumah tangga di Gohong. Ia seorang ayah dari lima anak mulai dari 10 sampai 18 tahun .
Di negara ini, para aktivis adat dan pemuka yang mempertahankan tanah, kadang-kadang diintimidasi, dilecehkan, dan dibunuh oleh perusahaan sawit dan antek-antek mereka. Banyak penduduk desa Dayak yang telah mengolah perladangan secara berpindah-pindah di hutan-hutan di Kalimantan Tengah selama ratusan tahun, tidak mengerti mengapa mereka harus pergi ke pengadilan untuk membela hutan yang telah dikonversi menjadi perkebunan kelapa sawit.
“Wajar saja, dan memang seharusnya, bagi kita melakukan segalanya untuk terus menguasai hak tanah kami,” kata Abdul Muin, seorang etnis Dayak yang berasal dari desa tetangga Dusun Sei kepada Al Jazeera. Disana, penduduk desa telah mengajukan tuntutan hukum terhadap perusahaan kelapa sawit dengan konsesi 11.000 hektar hutan lahan gambut.
Sementara sejauh ini, alhamdulillah 11 perusahaan telah dicabut izin operasinya. Sebagai negara tuan rumah lebih dari 2.500 pemasok lokal, Muin mengatakan, “kita masih harus terus-menerus berjuang untuk menangkis mereka.
Permintaan minyak sawit dan energi di Indonesia terus mendorong deforestasi dan penggusuran komunitas lokal. Negara ini telah kehilangan 64 juta hektar hutan tropis untuk agribisnis dalam lima dekade terakhir, menurut Institut Penelitian Dunia (WRI), organisasi penelitian internasional yang berfokus pada energi berkelanjutan dan konservasi.
Dalam beberapa tahun terakhir, perjanjian bilateral miliar dolar dengan Norwegia telah mendorong pemerintah Indonesia untuk mengeluarkan moratorium terhadap pembukaan lahan hutan untuk melindungi carbon-load pada lahan gambutnya. Hal ini sungguh tidak membantu masalah kerusakan bumi Kalimantan.
Kelompok adat di Kalimantan Tengah dan pendukung mereka, terus menyerukan pengakuan hak-hak mereka dalam konteks pengembangan lahan, juga untuk menghentikan pelanggaran HAM terhadap komunitas mereka serta melestarikan cara hidup mereka.
Pelanggaran HAM
Pada Mei 2013, pemerintah memperpanjang moratorium pada hutan dimulai pada tahun 2011 selama dua tahun, dan pada saat yang sama, keputusan Mahkamah Konstitusi membedakan hutan adat dari hutan negara, akhirnya mengakui hak masyarakat adat setelah lebih dari 10 tahun perjuangan oleh 2.000 kelompok masyarakat adat negeri diwakili dalam negosiasi pemerintah oleh Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), yang juga membantu dengan pemetaan partisipatif untuk pemerintah (One Map Initiative/OMI).
“Hampir tiga tahun usia moratorium izin kehutanan yang baru, capaian kami masih sedikit,” kata Nirarta Samadhi , kepala deputi Monitoring Kepresidenan untuk Unit Pengawasan Pemantauan Pengembangan Pembangunan Hutan. Nirarta mengatakan OMI – dimaksudkan untuk membuat referensi otoritatif tunggal untuk perencanaan penggunaan lahan di seluruh negeri – akan dirilis pada akhir Juni 2014.
Tahun lalu lebih dari 8.000 konflik lahan yang terdaftar dengan Badan Perencanaan dan Penggunaan Lahan Nasional ” sejauh ini tidak ada yang telah diselesaikan, ” kata Verania Andria, manajer program PBB untuk program pembangunan energi berkelanjutan.
Kepemilikan lahan adalah masalah utama yang mengacaukan pembangunan di daerah pedesaan, termasuk untuk energi berkelanjutan guna mendukung ibukota Jakarta berkembang pesat. Tingkat pertumbuhan penduduk tahunannya sekitar 3,6 persen per tahun sejak tahun 2000 dan pada tahun 2013 menembus angka 10.187.000 jiwa, kata Andria.
Dalam tiga tahun sejak moratorium pertama diumumkan, tercatat lima juta hektar hutan telah hilang, menurut Greenpeace Indonesia .
“Pemerintah melihat dolar yang diterima melalui ekspor minyak sawit sebagai salah satu cara untuk meningkatkan standar hidup bagi masyarakat Indonesia secara keseluruhan, ” kata Will McFarland, seorang petugas Overseas Development Institute yang berbasis di London.
Manfaat ekonomi dari industri multi-jutaan dolar tidak dirasakan oleh masyarakat adat, padahal mereka mengatakan bahwa mereka kehilangan segalanya.”Tidak mungkin kita dapat memupuk kehidupan dalam lingkungan seperti ini. Perkebunan kelapa sawit membuat semuanya mati, bahkan tidak ada lagi burung (yang bertahan hidup),” ujar Muin.
Perkebunan kelapa sawit dekat Gohong, anak perusahaan dari Wilmar International Group yang berbasis di Singapura, sekarang melanggar 8.000 hektar tanah adat yang dimiliki oleh tiga desa dekat Gohong, dan menawarkan 250.000 rupiah Indonesia (US $ 22) per hektar kepada pemerintah.
“Bagaimana kita bisa memantau apa yang perusahaan lakukan jika (bersama pemerintah) mereka turut melanggar hak milik adat? Dan mereka menawarkan kami ini untuk memberikan tanah kami selamanya?” Muin mengatakan seraya tak percaya. Laa tufsidu fiil ardh. (adibahasan/arrahmah.com)