Oleh Ine Wulansari
Pendidik Generasi
Mengejutkan, Harga Eceran Tertinggi (HET) “Minyak Kita” naik dari Rp14.000 menjadi Rp15.700 per liter. Kenaikan ini diumumkan oleh Menteri Perdagangan (Mendag) Zulkifli Hasan dalam Surat Edaran Nomor 03 Tahun 2023 tentang Pedoman Penjualan Minyak Goreng Rakyat. Kenaikan ini pun membuat bingung Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik, Achmad Nur Hidayat. Pasalnya, alasan Mendag menaikkan harga eceran minyak goreng karena menyesuaikan dengan biaya produksi yang terus naik dan fluktuasi nilai tukar rupiah. Dua alasan yang sebenarnya aneh karena minyak goreng dihasilkan dari minyak sawit di mana Indonesia adalah penghasil sawit terbesar di dunia. (liputan6.com, 20 Juli 2024)
Respon senada disampaikan pula oleh Lembaga Konsumen Indonesia, Tulus Abadi. Ia menilai langkah pemerintah menaikkan HET Minyak Kita tak masuk akal karena Indonesia merupakan eksportir minyak sawit mentah atau CPO bahan baku minyak goreng. Merujuk laporan Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI), stok awal CPO pada Januari 2024 sebesar 3,146 juta ton. Dari jumlah produksi itu, konsumsi dalam negeri mencapai 1,942 juta ton, sementara jumlah ekspor mencapai 2,0802 juta ton.
Tulus mengatakan bahwa minyak goreng telah menjadi kebutuhan pokok masyarakat dan menjadi tanggung jawab negara untuk mengintervensi keadaan melalui kebijakan agar harga bisa turun. Salah satunya ia menyarankan untuk membereskan jalur distribusi sebab kenaikan harga akan menggerus daya beli masyarakat yang saat ini sudah rendah dan kebijakan itu tidak pro publik. (tempo.com, 21 Juli 2024)
Harga Migor Naik, Negara Tak Berkutik
Kenaikan HET harga Minyak Kita pasti memberi dampak pada ekonomi rakyat. Banyak masyarakat mengeluhkan kenaikan harga minyak goreng tersebut, khususnya masyarakat dengan tingkat penghasilan menengah ke bawah. Mulai dari pedagang, konsumen rumah tangga, dan pelaku UMKM. Bagi konsumen rumah tangga, dapat dipastikan pengeluaran akan semakin bertambah untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dan kondisi ini semakin menyulitkan, mengingat masih banyak kebutuhan lainnya yang harus dicukupi.
Begitu juga dengan pedagang dan pelaku UMKM, mereka secara otomatis akan kehilangan pelanggan atau konsumen dan berimbas pada menurunnya pendapatan akibat makin tingginya modal usaha dan biaya produksi yang dikeluarkan. Tentu saja kondisi ini memperparah keadaan yang dialami masyarakat.
Kesulitan tak cukup sampai pada kenaikan harga minyak, hampir semua bahan pokok rakyat naik secara sigifikan. Mulai dari harga beras, telur, bawang merah, cabai, dan lainnya. Rasanya kepahitan yang dirasakan rakyat tidak serta-merta membuat pemerintah membuat kebijakan yang berpihak pada rakyat di saat beban ekonomi kian sulit.
Sayangnya, negeri penghasil sawit terbesar di dunia justru terus mengalami kenaikan harga yang berulang. Selain itu Indonesia sendiri adalah negara pengekspor minyak sawit mentah yang menjadi komoditas unggulan dan andalan bagi Indonesia. Pada tahun 2023, ekspor CPO menyumbang 33,72 persen devisa negara. Mengutip data dari United States Foreign Agricultural Service, produksi CPO Indonesia mencapai 47 juta metrik ton. (katadata.co.id, 04 April 2024)
Dengan potensi sebanyak itu, mengapa ketersediaan minyak goreng di dalam negeri harus ditetapkan dengan HET yang mencekik terutama lapisan menengah ke bawah? Alasannya karena pemerintah bercorak kapitalistik sangat memungkinkan menetapkan aturan sesuai kepentingan. Artinya, negara bisa merubah kebijakan kapan saja meskipun sudah ada aturan tentang pedoman penjualan Minyak Goreng Rakyat. Selain itu, pemerintah selalu menghitung untung dan rugi kepada rakyat. Indikasinya ada pada alasan yang dikemukakan pemerintah, yaitu biaya produksi naik dan nilai tukar rupiah. Dengan alibi tersebut, negara mempersiapkan kebijakan dan membebankannya pada rakyat melalui jalan kenaikan HET minyak goreng.
Tentu saja hal ini menunjukan ada kesalahan dalam tata kelola pangan akibat diterapkannya sistem ekonomi kapitalisme dalam mengatur urusan negara dan rakyat. Segala kebijakan pangan yang dikeluarkan penguasa, tidak berpihak pada rakyat. Sehingga menyebabkan negara berlepas tangan dalam memenuhi kebutuhan pangan rakyatnya termasuk minyak goreng. Negara justru menyerahkan kepengurusannya mulai dari produksi hingga distribusi pada pihak korporasi. Sedangkan negara berperan sebagai kepanjangan tangan bagi para pengusaha. Sehingga memperpanjang rantai pengendalian pangan termasuk minyak goreng oleh korporasi, yang dijamin bisnisnya oleh negara. Bagi para korporat ketika negara tidak menjalankan perannya, maka pihak swasta leluasa menguasai rantai produksi hingga distribusi. Faktanya, sebagian besar lahan sawit sudah dikuasai pihak swasta dengan izin pengelolaan yang dimudahkan negara. Maka hal tersebut mengakibatkan harga minyak semakin mahal.
Islam Menjamin Ketersediaan Pangan
Islam sebagai agama yang membawa rahmat bagi seluruh alam, terbukti selama hampir 1400 tahun mampu menyejahterakan umat manusia dengan menerapkan aturannya di seluruh sendi kehidupan. Salah satunya dalam memenuhi kebutuhan pokok rakyat yang menjadi tanggung jawab negara. Sebagaimana sabda Rasulullah saw.: “Seorang imam adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya…” (HR. Bukhari)
Paradigma dalam mengurus rakyat adalah pelayanan bukan bisnis. Karenanya negara harus menjamin tersedianya kebutuhan pokok, termasuk minyak goreng. Ada beberapa mekanisme yang akan dilakukan sesuai syariat: pertama, negara akan menjaga pasokan dalam negeri dengan memberi support bagi para petani sawit untuk mengelola lahan. Dengan prinsip kepemilikan lahan dalam Islam, petani sawit akan dipermudah oleh negara untuk mendapatkan lahan.
Kedua, negara menunjang sarana dan infrastruktur pertanian. Bahkan negara menjadikan sektor pertanian produktif dengan memberikan modal bagi para petani.
Ketiga, negara akan menciptakan pasar yang sehat sehingga terwujud kestabilan harga. Caranya negara akan mengawasi rantai distribusi dan menghilangkan segala penyimpangan pasar, seperti penimbunan yang dilakukan oleh perusahaan maupun pedagang. Jika sampai terjadi, maka negara secara tegas akan memberikan sanksi.
Keempat, negara tidak menetapkan harga untuk produk pangan apapun, tetapi menyerahkan harga pada mekanisme pasar, namun tetap ada dalam pengawasan negara. Rasulullah saw. bersabda: “Sesungguhnya Allah Dia-lah yang mengatur harga, yang menahan, yang melapangkan, dan yang Maha memberikan rezeki, dan sungguh aku berharap untuk berjumpa dengan Rabbku dalam keadaan tidak ada seorang pun dari kalian yang menuntutku karena suatu kezaliman pada darah dan harta.” (HR. Abu Daud dan Tirmidzi).
Kelima, jika stok di pasaran sedikit yang menyebabkan rakyat kesulitan mendapatkan barang pokok karena harga mahal, maka negara akan berusaha mencari wilayah-wilayah yang memiliki stok melimpah kemudian membelinya. Seperti yang telah dilakukan Khalifah Umar bin Khathab yang mengirimkan surat kepada para gubernur di berbagai daerah agar membantu penduduk Madinah dan sekitarnya. Gubernur pertama yang mengirimkan bantuan adalah Abu Ubaidah bin Jarrah dengan membawa empat ribu unta yang penuh muatan makanan. Lalu Khalifah Umar menugaskan orang untuk membagikannya kepada penduduk di sekitar Madinah dan ia pun ikut membagikannya. Kemudian datanglah bantuan dari gubernur lainnya secara berturut-turut, sehingga penduduk Hijaz memperoleh kecukupan.
Oleh karena itu, penerapan sistem ekonomi Islam dalam pengelolaan sawit akan menjadikan minyak goreng mudah didapatkan rakyat dengan harga yang murah. Sungguh penerapan Islam secara keseluruhan di bawah naungan Daulah Islam akan mewujudkan kesejahteraan, karena negara benar-benar diposisikan sebagai pengurus rakyat.
Wallahua’lam bish shawab