KHARTOUM (Arrahmah.id) – Militer Sudan telah mengirimkan sebuah delegasi ke kota Jeddah, Arab Saudi, untuk melakukan pembicaraan gencatan senjata sebagai bagian dari inisiatif bersama Saudi dan AS, ujar militer dalam sebuah pernyataan.
Delegasi tersebut berangkat ke Jeddah pada Jumat malam (5/5/2023) setelah tentara dan Pasukan Pendukung Cepat (RSF) yang merupakan kelompok paramiliter saingannya mengatakan bahwa mereka hanya akan mendiskusikan gencatan senjata kemanusiaan dan bukan negosiasi untuk mengakhiri konflik di Sudan.
Delegasi militer akan membahas “rincian gencatan senjata yang sedang dalam proses perpanjangan” dengan musuh-musuh paramiliternya, menurut pernyataan militer Sudan, lansir Al Jazeera.
Inisiatif bersama ini bertujuan untuk “mengurangi tingkat ketegangan” di Sudan, sebuah pernyataan dari kementerian luar negeri Saudi mengatakan pada Jumat.
RSF juga akan mengirimkan sebuah delegasi untuk perundingan tersebut, kantor berita Associated Press melaporkan, mengutip seorang pejabat paramiliter.
Al Jazeera melaporkan bahwa sumber-sumber di militer Sudan telah mengonfirmasi bahwa sebuah delegasi telah berangkat ke Jeddah, dan delegasi tersebut terdiri dari tiga perwira militer -di antara mereka adalah seorang jenderal- dan juga seorang duta besar.
Serangan udara dan tembakan terus mengguncang ibu kota Sudan pada Jumat, tidak menunjukkan tanda-tanda mereda meskipun ada upaya gencatan senjata.
Kepala militer reguler Abdel Fattah al-Burhan telah memberikan dukungannya terhadap gencatan senjata selama sepekan yang ditengahi oleh Sudan Selatan pada Rabu, tetapi pada Jumat, Pasukan Pendukung Cepat (RSF) paramiliter mengatakan bahwa mereka memperpanjang gencatan senjata yang ditengahi oleh AS-Saudi selama tiga hari.
Beberapa gencatan senjata telah disepakati sejak pertempuran antara pasukan keamanan yang berseteru meletus pada 15 April, tetapi tidak ada yang dihormati.
‘Ini harus diakhiri’
Ratusan orang telah tewas dalam hampir tiga pekan pertempuran antara pasukan pemimpin de facto Sudan, al-Burhan, dan wakilnya yang kini menjadi saingannya, Mohamed Hamdan Daglo, yang mengomandoi RSF.
Pertempuran terus berlanjut sehari setelah Presiden AS Joe Biden mengancam sanksi terhadap mereka yang bertanggung jawab atas “ancaman terhadap perdamaian, keamanan, dan stabilitas Sudan” dan “merongrong transisi demokratis Sudan”.
Negara Afrika Utara ini telah menderita di bawah sanksi selama beberapa dekade di bawah pemerintahan presiden Omar al-Bashir, yang digulingkan dalam kudeta di istana pada 2019 setelah protes massal di jalanan.
“Kekerasan yang terjadi di Sudan adalah sebuah tragedi -dan ini merupakan pengkhianatan terhadap tuntutan rakyat Sudan yang jelas untuk pemerintahan sipil dan transisi menuju demokrasi. Ini harus diakhiri,” kata Biden.
Para saksi mata melaporkan berlanjutnya serangan udara dan ledakan di berbagai wilayah di Khartoum pada Jumat, termasuk di dekat bandara.
Konflik telah menewaskan sekitar 700 orang sejauh ini, sebagian besar dari mereka di Khartoum dan wilayah Darfur barat, menurut Proyek Data Lokasi dan Peristiwa Konflik Bersenjata.
Dewan Hak Asasi Manusia PBB mengatakan akan mengadakan sebuah sesi khusus mengenai situasi di Sudan pada 11 Mei.
Pertemuan “untuk membahas dampak hak asasi manusia dari konflik yang sedang berlangsung” akan berlangsung di Jenewa menyusul permintaan yang diajukan pada hari Jumat oleh Inggris, Jerman, Norwegia, dan Amerika Serikat, yang sejauh ini didukung oleh 52 negara, kata dewan tersebut.
Badan PBB untuk anak-anak, UNICEF, memperingatkan pada Jumat bahwa “situasi di Sudan telah berakibat fatal bagi sejumlah besar anak.”
Para pekerja bantuan juga telah berjuang untuk mendapatkan pasokan yang sangat dibutuhkan ke daerah-daerah yang dilanda kekerasan.
Menurut Korps Medis Internasional, setidaknya 18 pekerja bantuan telah terbunuh di tengah pertempuran kota yang sengit. (haninmazaya/arrahmah.id)