MAUNG DAW (Arrahmah.com) – Pada Senin (30/9/2013), sejumlah siswa Muslim Rohingya kelas sembilan dari Sekolah Menengah Maung Daw hendak melaksanakan shalat ashar di masjid yang berdekatan dengan sekolah mereka (dikenal sebagai Masjid Sekolah) di desa Shidda Fara (Myoma Kayindan).
Ketika mereka tiba di gerbang masjid, mereka mendapati bahwa pintu masjid telah dikunci. Saat mereka mencari tahu tentang hal itu, ternyata Mayor Zaw Hlatt Oo, Komandan Batalyon di premis sekolah, yang telah mengunci masjid itu. Setelah mengunci pintu masjid, mayor itu memberikan kuncinya kepada administrator desa Myoma Kayindan, lansir RVision.
Para siswa tersebut kemudian mendatangi administrator desa untuk meminta kunci masjid. Tetapi dia malah menjawab, “Saya tidak bisa memberikan kuncinya kepada kalian. Jika saya melakukannya, dia akan menghukum saya. Kalian pergi dan mintalah sendiri kepadanya.”
Namun pada saat para siswa itu hendak menghampiri mayor di batalyon, mereka melihat pasukan militer Myanmar yang tengah siaga menunggu dengan senjata mereka.
Kemudian para siswa tersebut berkata kepada mayor, “Kami di sini untuk meminta kunci dari Anda setelah kami diberitahu oleh administrator desa.” Mayor itu malah menjawab, “Apakah kalian ingin shalat? Jika demikian, shalat-lah dalam kelompok yang terdiri dari lima orang setiap kali. Tidak lebih dari itu.”
Para siswa tersebut menjawab, “Jika kami shalat mengelompokkan lima orang lima orang bergantian, bagaimana kami bisa bersekolah dan menghadiri kelas kami? Tidak ada waktu untuk itu.” Mayor itu kemudian mengklaim, “Ada perintah jam malam (darurat militer) yang masih diberlakukan di sini. Jadi, saya tidak bisa memberikan kuncinya kepada kalian.”
Para siswa itu meninggalkan batalyon dan kembali lagi bersama dengan senior mereka untuk menghadapi mayor itu, siswa kelas sepuluh. Tapi mayor itu malah memanggil kepala sekolah mereka, U Kyaw Hzaw’ Tun, dan mengatakan, “Kendalikanlah siswa-siswa Anda.”
Kepala sekolah itu kemudian memanggil para siswa untuk datang ke ruang pertemuan dan berkata “Tidakkah kalian, para ‘kalar’ – kata yang sangat menghina Kaum Muslimin – Bengali, tahu bahwa kalian tidak bisa shalat di Maung Daw dan Buthidaung? Tidakkah kalian, para ‘kalar’, tahu tentang darurat militer di bawah seksi 144? Jadi, bagaimana kalian bisa shalat?” Lalu, dia menghina dan melecehkan para siswa dengan perkataannya dan meminta mereka untuk pergi.
Sebagian besar masjid dan bangunan keagamaan di Arakan telah dikunci sejak Juni 2013. Tidak ada yang diperbolehkan untuk shalat dan berdoa di masjid.
Diskriminasi dan pelanggaran terhadap Muslim Rohingya di lembaga pendidikan seperti ini telah menjadi semakin sering terjadi di Arakan dan Kaman.
Sementara itu, teroris Buddha Rakhine yang didukung oleh pemerintah Myanmar terus membunuh umat Islam dan menghancurkan rumah-rumah mereka di Arakan. Dan pada saat ini, Kaum Muslimin Kaman bahkan tengah menghadapi pembantaian baru di Kota Thandwe.
Sementara Kaum Muslimin Rohingya dan Kaman terus menghadapi segala macam diskriminasi, kekerasan dan kekejaman, Presiden Thein Sein dalam kunjungannya baru-baru ini ke Maung Daw malah mengklaim mereka Living in Peace “Hidup dalam Kedamaian”. Hasbunallah Wa Ni’mal Wakil, Ni’mal Maula Wa Ni’man Nasir. (banan/arrahmah.com)